Breaking News

Sejarah yang Ditulis dengan Darah

Batu nisan Affan Kurniawan. Foto: Net/LK Ara

Sejarah bangsa sering tercatat bukan hanya oleh pena para penguasa, tetapi juga oleh darah anak-anak muda yang gugur di jalanan. Nama Affan Kurniawan kini menjadi bagian dari catatan itu. Ia bukan sekadar individu, melainkan simbol luka kolektif bangsa ini—luka yang lahir dari kebijakan tanpa nurani, dari kekerasan yang menindas suara rakyat sendiri.

Barakuda, kendaraan baja yang seharusnya menjaga keamanan, justru menjadi mesin perampas nyawa. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak hanya dirayakan dengan pesta, tetapi harus dijaga dengan keadilan. Tanpa itu, pekik “Merdeka!” hanyalah gema kosong di antara gedung-gedung kuasa.

Puisi ini ditulis sebagai bentuk ingatan, penolakan untuk bungkam, dan doa agar tragedi serupa tidak lagi menimpa anak-anak bangsa.

1
Affan, tubuhmu terbaring di jalan,
aspal menjadi sajadah terakhir,
darahmu menjadi tinta sejarah
yang tak bisa dihapus hujan.

2
Barakuda itu melintas,
seperti besi buta tanpa hati,
seperti negara yang kehilangan telinga
untuk mendengar jerit warganya.

3
Kota berguncang,
bukan karena dentum roda baja,
tapi karena jiwa-jiwa yang patah
melihat anaknya diremukkan bangsanya sendiri.

4
Engkau bukan batu, bukan debu,
engkau adalah nyawa,
nyawa yang semestinya dijaga
dengan kasih sayang ibu pertiwi.

5
Namun negeri ini kadang lebih cepat
melindungi kursi kekuasaan
daripada pelukan bagi anak mudanya.

6
Di matamu mungkin sempat terbayang
wajah ibu, wajah saudara,
tapi yang datang justru deru mesin,
dan dinginnya moncong negara.

7
Affan, namamu bukan lagi sekadar nama,
namamu kini jeritan kolektif,
namamu kini wajah luka,
namamu kini cermin kebengisan.

8
Kami menulis,
bukan sekadar untuk meratap,
tapi agar sejarah tidak diam
di hadapan tirani yang berulang.

9
Darahmu menjelma benih,
tumbuh jadi pohon perlawanan,
ranting-rantingnya
menyentuh hati rakyat yang terjaga.

10
Negeri ini sedang tidak baik-baik saja,
dan tubuhmu adalah bukti,
bahwa kemerdekaan
masih sering dibungkam dengan besi.

11
Apakah penguasa akan mencatatmu?
atau membiarkan namamu
tenggelam di arsip yang dikunci rapat?

12
Kami tidak akan lupa.
Kami akan menulis di tembok,
di jalanan, di udara:
“Affan Kurniawan pernah dilindas Barakuda.”

13
Karena melupakanmu
sama saja dengan merelakan
anak-anak lain menunggu giliran.

14
Affan, engkau gugur di jalan negeri sendiri,
tapi dalam gugurmu
terdapat sebaris api
yang tak bisa dipadamkan.

15
Merdekalah dalam keabadian,
sementara kami,
masih terus berteriak di bumi:
“Jangan lagi lindas anak-anakmu sendiri.”