Puisi Esai oleh LK Ara
Di halaman Rumah Adat Gayo, Toweren,
angin menyentuh pepohonan dengan bahasa sunyi,
dan akar tua yang mencuat dari tanah
seperti urat sejarah yang belum selesai dibaca.
Di situlah Fendi berdiri —
tokoh tim penentu maestro dari kota yang jauh,
menunjuk ke arah akar itu:
“Di sini saja panggungnya, di atas akar.”
Akar itu bukan hanya kayu tua yang menjalar,
ia adalah kisah yang menyimpan jejak kaki leluhur,
yang menyusup ke tanah dan menumbuhkan ingatan.
Maka mata penonton berbalik arah,
dari gedung ke tanah, dari tempat duduk ke tempat asal.
Syaifullah—Direktur Film, Musik dan Seni—ikut menoleh,
dan di antara yang memandang dengan keteduhan ilmu,
terdapat Endo Suanda, etnomusikolog,
yang sejak awal tahu:
akar bukan sekadar tempat berpijak,
tetapi tempat bunyi-bunyi lama bersembunyi
dan makna-makna tua bersemayam.
Penonton mulai diam.
Seperti mendengar sesuatu yang tak terdengar.
Lalu terdengarlah suara serune.
Langkah pertama penari seperti membuka jendela waktu.
Tubuh mereka menyapa akar,
mengikuti irama yang tak hanya ditabuh,
tetapi juga diwariskan.
Mereka menari di atas akar,
bukan sekadar panggung, tapi pusaka.
Setiap gerak adalah kalimat tak bersuara
yang mengalir dari masa lalu ke tubuh hari ini.
Tak ada lampu sorot.
Hanya cahaya sore dan hembusan kabut yang turun pelan,
seperti restu dari alam kepada manusia
yang masih mau menari dengan arif.
Di antara tepuk tangan kecil dan napas yang tertahan,
terasa bahwa Guel bukan lagi milik masa lalu.
Ia sedang pulang.
Melalui akar, ke tanah.
Melalui tari, ke jiwa.
Dan kita,
yang menonton dari kursi kayu atau rerumputan,
diam-diam bertanya:
“Sudahkah kita bertumbuh seperti akar,
menjaga warisan dengan diam tapi mendalam?”
⸻
📌 Catatan Kaki
¹ Pentas ini berlangsung di samping Rumah Adat Gayo, Kampung Toweren, Takengon, dalam rangkaian penelusuran maestro Guel oleh tim dari Jakarta. Lokasi panggung dipilih langsung oleh Fendi (tim peneliti) di atas akar pohon tua yang dianggap sarat makna simbolik.
² Syaifullah (Direktur Film, Musik dan Seni, Kemenparekraf) dan Endo Suanda (etnomusikolog) turut hadir sebagai bagian dari tim pengamat dan apresiasi budaya.
³ Tari Guel adalah warisan budaya takbenda masyarakat Gayo yang bermuatan spiritual, historis, dan estetis tinggi. Penggunaan akar sebagai panggung menjadi tafsir visual terhadap hubungan antara gerak, tanah, dan akar tradisi.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.