LK Ara
Puisi Esai
“Silakan baca puisiku ini,”
kata Prof Wildan,
Rektor ISBI Aceh,
suara beliau lembut,
seperti embun yang jatuh perlahan
ke daun-daun pagi.
Aku diam sejenak,
menatap lembaran puisi di tangan,
seolah memegang sekuntum bunga
yang baru dipetik dari taman makna.
Detak jantungku menjadi genderang kecil,
menyadarkan:
ini bukan sekadar teks,
ini titah, ini kehormatan,
ini kunci menuju ruang rahasia
dalam diri dan sejarah.
Bayangan panggung terbentang di benakku
seperti sungai cahaya,
mengalir di antara wajah-wajah penonton,
lampu-lampu menggantung
bagaikan bintang-bintang kecil
yang turun dari langit sore,
menyaksikan.
Di Museum Kota Juang,
dinding-dinding batu tua
berdiri seperti penjaga bisik masa lalu.
Foto-foto pahlawan menggantung diam,
seolah mata mereka ikut menatap,
menanti suara yang akan menyentuh waktu.
Tiba saatnya berdiri di pentas kecil.
Kuminta gitar dimainkan,
petikan nadanya merambat
bagai benang cahaya,
mengikat kata dan nada
dalam satu jalinan napas.
Aku tarik napas panjang,
dan membiarkan suara menjadi aliran sungai,
membelah petang,
membawa puisi itu melintasi dada-dada,
mengalir, menghibur,
kadang menyentuh seperti angin
yang membelai kenangan,
kadang menggetarkan seperti petir
yang membelah langit sepi.
Aku tahu, petang itu bukan hanya tentang aku,
bukan hanya tentang suara,
tapi tentang langkah-langkah kecil
yang menapak di pasir sejarah,
tentang tangan-tangan tak terlihat
yang menggandengku
melewati jembatan waktu.
Di akhir bait,
aku merasa suaraku telah larut,
menjadi bagian dari ruangan,
menjadi embusan angin
di antara artefak senyap,
menjadi getar kecil
yang mungkin saja tinggal
dalam ingatan seorang penonton.
Dan ketika tepuk tangan pecah,
aku tersenyum kecil,
berbisik dalam hati:
“Terima kasih, Prof,
telah memberi titah
yang membuatku berjalan
di jalan kecil menuju sejarah,
membiarkanku menggores
jejak suara di kanvas waktu,
meski hanya sekejap.”
Bireuen, 2 Juni 2025
Refleksi:
Kadang, satu langkah kecil
meninggalkan jejak di pasir panjang sejarah.
Kadang, satu suara
menggetarkan ruang yang lama diam.
Di Museum Kota Juang, aku belajar:
puisi adalah jembatan —
menghubungkan masa lalu, kini,
dan siapa tahu, masa depan.
⸻
Catatan Kaki:
¹ Puisi ini lahir dari titah Prof Wildan, Rektor ISBI Aceh, yang mempercayakan puisinya untuk dibacakan di Museum Kota Juang.
² Metafora menjadi cara untuk melihat ruang yang biasa
sebagai panggung yang luar biasa —
di mana suara, cahaya, sejarah, dan manusia
bertemu dalam satu alur cerita.
³ Terima kasih untuk para penonton, sahabat,
dan guru-guru kehidupan
yang selalu membuka ruang bagi puisi
untuk bernapas lebih panjang.
Kadang kita berdiri di panggung kecil,
dengan suara sederhana,
tapi di sekeliling kita ada sejarah,
ada bisik masa lalu,
ada mata-mata tak terlihat
yang mendengar lebih dari sekadar kata.
Petang itu, di Museum Kota Juang,
aku membaca puisi Prof Wildan,
mengalir bersama gitar,
mengisi ruang-ruang senyap
dengan getar kecil yang semoga
tak cepat hilang.