Puisi Esai LK Ara
“Aku datang bukan dari ruang kelas sejarah.
Aku datang dari hutan tanah Gayo dari embun di daun kayu.
Tapi aku tahu siapa Sutan Iskandar Muda:
raja yang bersujud pada keadilan,
bahkan ketika anak kandungnya sendiri harus dihukum mati.”
Ziarah ini bukan hanya perjalanan ke makam,
melainkan perjalanan ke dalam nurani bangsa.
Di hadapan nisan Sultan terbesar Aceh,
aku bersajak dan bersaksi:
keadilan bukan warisan,
ia harus diperjuangkan
setiap generasi.
⸻
Aku datang dari hutan rimba Gayo
dari bisikan akar yang hafal nama para raja,
bukan lewat buku sejarah,
melainkan dari percik embun
yang menggigil di daun kayu setiap fajar.
Langkahku tiba di tanah pusara,
tempat nyala tak pernah padam
meski tubuhmu telah jadi tanah.
Sutan Iskandar Muda—
aku tak mengenalmu dari podium upacara,
tapi dari aliran sungai yang bersenandung
tentang raja yang tak suka rakyat kelaparan,
tentang istana yang tak lebih tinggi dari keadilan.
Engkau memimpin bukan dengan mahkota,
tapi dengan pisau tajam yang tak gentar
memotong benang darah sendiri.
Kisah tentang putramu, Meurah Pupok,
yang dihukum mati karena menyimpang dari hukum,
telah menjadi pelita yang tak padam dalam dada kami:
seorang ayah yang lebih memilih kehilangan anak,
daripada kehilangan keadilan di hadapan rakyatnya.
Makam ini bukan batu,
tapi lidah bumi yang tak bisa diam.
Ia berkata:
“Inilah manusia yang tubuhnya kembali ke tanah,
tapi jiwanya masih berdiri
di medan perang, di dewan syura,
dan di simpang pengorbanan paling sunyi.”
Angin Banda Aceh membawa bau lada dan kemerdekaan,
dan aku, anak rimba yang tak paham diplomasi,
duduk bersila di hadapan nisanmu,
membaca ayat dengan lidah gemetar.
Seakan ada gelombang kecil
yang datang dari laut masa lalu,
menyentuh kakiku dengan peringatan:
“Jangan warisi nama,
kalau tak sanggup warisi nyalanya.”
Engkau pernah membuat dunia menoleh,
ketika kapal asing gentar memasuki selat,
ketika Aceh menjadi taman kekuatan dan ilmu,
ketika tamu dari Persia dan Ottoman
datang bukan untuk mengajar,
tetapi belajar dari tanah ini.
Kini kami berjalan di jejak yang tertimbun debu,
mencari sisa nyala dari bara yang dulu kau jaga.
Dan kami,
yang datang dari rimba dan debu
masih menyebut namamu—
bukan dengan teriakan,
melainkan dengan tekad
untuk tidak berkhianat
pada tanah ini.
⸻
Catatan Kaki:
1. Sultan Iskandar Muda (1607–1636) adalah raja terbesar Kesultanan Aceh Darussalam. Di bawah pemerintahannya, Aceh mencapai puncak kejayaan sebagai kekuatan maritim, ekonomi, dan intelektual. Ia memperkuat armada laut, memperluas wilayah kekuasaan hingga ke semenanjung Malaya, dan menjadikan Banda Aceh pusat perdagangan rempah dunia.
2. Meurah Pupok, putra kandung Sultan Iskandar Muda, dihukum mati oleh ayahnya sendiri karena melanggar hukum kerajaan. Kisah ini menjadi legenda keadilan yang hidup dalam masyarakat Aceh hingga hari ini.
“Lebih baik aku kehilangan anak, daripada kehilangan keadilan.” — Ungkapan lisan yang diwariskan turun-temurun di Aceh.
3. Sistem Pemerintahan Iskandar Muda menegakkan prinsip syariat, tetapi juga membangun struktur negara yang kuat dengan pengawasan terhadap bangsawan dan elit istana. Ia menekankan bahwa kekuasaan bukan hak warisan, tapi amanah rakyat dan agama.
4. Aceh Sebagai Pusat Perlawanan dan Kemerdekaan: Kejayaan di masa Iskandar Muda bukan hanya tentang kekuasaan politik, tetapi juga tentang jati diri bangsa yang tak ingin tunduk pada imperialisme. Semangat inilah yang kelak diteruskan oleh para pejuang Aceh generasi setelahnya.