Puisi Esai LK Ara
Di jantung pegunungan Gayo Lues, tersembunyi sebuah tempat bernama Bur Perok Putih.
Pada masa penjajahan Belanda, kawasan ini menjadi benteng sunyi, tempat para pejuang Gayo bersembunyi di balik tirai kabut dan rimba yang bersaksi bisu.
Mereka bergerilya di antara patahan-patahan bumi,
mengubah akar-akar tua menjadi benteng,
dan mengukir doa-doa di dada batu.
Di sisi lain, berdirilah Jeret Dagang — kuburan massal tempat bumi menelan para prajurit asing tanpa sempat menghafal nama-nama tanah yang ingin mereka kuasai.
Di sini, bukan senjata semata yang berbicara,
melainkan jiwa yang bertekuk,
dan semesta yang berpihak pada kebenaran.
Bur Perok Putih, Jeret Dagang, dan Intim-Intim adalah kitab-kitab sunyi
yang hanya bisa dibaca oleh hati yang bersih
dan jiwa yang mau menundukkan diri dalam zikir panjang bumi.
Di bawah kabut pagi Intim-Intim,
bur perok putih menari di antara bayang luka.
Bulu mereka memunguti kenangan yang jatuh,
sayap mereka mengibarkan kabar yang disembunyikan batu.
Mereka adalah gema takbir yang tak sempat reda,
adalah denting doa yang digantungkan di dahan sunyi.
Pada masa itu,
pasukan Belanda menyusuri lembah-lembah beku,
mencari jiwa-jiwa yang bersembunyi di antara akar dan cahaya,
mencari tubuh-tubuh yang telah bersumpah:
lebih baik luruh dalam tanah sendiri
daripada hidup sebagai bayang-bayang di tanah orang lain.
Di celah akar, di atas bebatuan,
di balik rerimbunan yang mengatup seperti tangan berdoa,
para pejuang Gayo mengendap-endap,
menjadi bayang malam yang menanam ketakutan di dada lawan,
menjadi doa yang melayang tanpa suara di langit subuh.
Ada malam-malam
ketika daun-daun merunduk lebih dalam,
dan bur perok putih berkumpul dalam lingkaran,
seakan membaca ayat-ayat tak kasatmata
tentang darah yang menulis perlawanan di atas tanah sunyi.
Di Jeret Dagang —
tanah yang bergetar oleh darah penjajah —
ratusan tubuh asing tertimbun di antara akar-akar tua,
bagaikan benih yang gagal tumbuh di ladang yang menolak mereka.
Mereka datang membawa bedil dan bendera,
namun dihancurkan oleh hujan kesabaran,
oleh batu yang bertahan, dan doa-doa yang menusuk langit.
Bur Perok Putih menatap sepi,
menyimpan rahasia yang tidak pernah dimintai kesaksian:
tentang tubuh-tubuh lunglai di bawah cemara,
tentang tangisan yang membeku di atas tanah dingin,
tentang bumi Gayo yang menolak dilupakan,
seperti akar menolak tercerabut dari tanahnya sendiri.
Aku dimasa remaja pernah mendaki bukit ini,
hingga turun ke kampung Rikit Gaib,
tempat yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan panjang,
tempat yang menyimpan jiwa-jiwa yang berani melawan takdir.
Aku menapaki jejak langkah yang tersisa,
merasakan getar tanah yang sama,
seperti yang pernah dirasakan oleh pejuang-pejuang itu,
mereka yang memilih berdiam di balik kabut,
dan berperang dengan sunyi.
Kini, di lereng Bur Perok Putih,
angin masih membawa bisik-bisik yang lembut:
bisik tentang nyali yang ditanam,
tentang api kecil yang tak pernah padam dalam dada-dada renta,
tentang sungai-sungai kecil yang mengalirkan keberanian ke hilir zaman.
Kita, pewaris sunyi ini,
harus membuka telinga untuk suara tanah,
harus membuka dada untuk nyanyian angin,
dan memahami bahwa setiap desir rerumputan
adalah kabar dari mereka yang lebih memilih mati merdeka
daripada hidup terikat.
Mereka yang gugur di Jeret Dagang,
yang bersembunyi di Intim-Intim,
telah menitipkan satu pesan suci:
“Jangan biarkan tanah ini lupa pada darah yang menumbuhkannya.”
Maka setiap batu, setiap aliran air, setiap pucuk cemara,
adalah kitab yang mesti dibaca dan diwariskan.
Karena selama bintang masih berkedip di langit Intim-Intim,
selama kabut masih merayap dari lereng ke lereng,
tanah ini tidak akan pernah kehabisan cerita tentang cinta,
tentang luka,
tentang sebuah bangsa yang tidak pernah bersedia menyerah.
Kalanareh, Maret 2025
Catatan Kaki:
- Bur Perok Putih: Tempat bersejarah di Gayo Lues, yang berfungsi sebagai tempat persembunyiannya pejuang Gayo dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Nama “Bur Perok Putih” sendiri mungkin berasal dari deskripsi lokal mengenai tempat tersebut.
- Jeret Dagang: Sebuah lokasi yang dikenal sebagai kuburan massal di Gayo Lues, tempat di mana banyak pejuang dan pasukan Belanda jatuh selama pertempuran. Tempat ini merupakan saksi bisu pengorbanan besar dalam sejarah perlawanan Gayo.
- Intim-Intim: Wilayah di pegunungan Gayo Lues yang penuh dengan sejarah perjuangan, menjadi salah satu simbol dalam puisi ini untuk menggambarkan tanah yang menyimpan kenangan perlawanan.
- Takbir: Sebuah seruan atau kalimat suci dalam Islam, yang diartikan sebagai sebuah bentuk doa atau panggilan kepada Tuhan. Dalam konteks ini, takbir menggambarkan semangat perjuangan yang berkumandang di hati pejuang.
- Bumi Gayo: Sebagai simbol tanah air, Bumi Gayo dalam puisi ini menyimbolkan segala pengorbanan, cinta, dan daya tahan para pejuang yang tidak mengenal kata menyerah.