Puisi Esai untuk Para Maestro Didong Gayo oleh LK Ara
Di dinding itu, wajah mereka terpampang:
Banta Cut Winar dan Ceh Sali Gobal—
dua maestro yang telah pulang
ke asal suara,
meninggalkan gema syair
yang tak pernah benar-benar selesai.
Mereka yang sudah bisa dipajang,
menjadi tanda, menjadi ziarah,
menjadi bisik-bisik yang meresap ke tulang,
menjadi tanya yang hidup di setiap malam Didong:
“Apakah yang sudah tenang benar-benar selesai?”
Dan di bawah foto itu,
berdiri empat lelaki dengan mata yang bersinar.
Bukan cahaya kamera,
melainkan nyala yang bertahan dari dekade ke dekade.
Topi kupiah, baju adat, sorban selempang,
dan celoteh kecil yang menyimpan lagu panjang.
Mereka belum pulang.
Masih bergaya,
masih berdendang,
masih menggoda waktu dengan tawa dan irama.
Bahkan di usia yang nyaris melebihi usia desa,
mereka tetap anak-anak panggung
yang menjadikan syair sebagai rumah.
“Kami belum selesai,” kata salah satu dari mereka.
“Kami belum mau diam.”
“Biarkan kami terus bersuara,
sampai suara kami sendiri
menjadi dinding yang baru.”
Di rumah kecil itu: Rumah Didong Gayo,
yang lebih mirip museum rakyat,
terpampang sejarah dari napas, bukan dari buku.
Setiap dindingnya menyimpan tapak,
setiap sudutnya mengaji kisah
tentang tanah, tentang luka,
tentang tawa yang tak pernah bisa dipaksa tua.
Seni tak pernah pensiun.
Dan para maestro ini tahu benar artinya bertahan—
bukan hanya melawan usia,
tapi juga melawan lupa.
Mereka berdiri
di antara kenangan dan masa depan,
di depan pintu merah dan lukisan adat,
menjadi saksi yang berkata pelan:
“Yang sudah pergi tak benar-benar mati.
Yang masih hidup belum tentu akan pergi.
Tapi suara kami—
itulah yang terus mencari panggungnya sendiri.”
Didong adalah suara panjang Tanoh Gayo. Ia lahir dari tanah, tapi tak pernah benar-benar dikubur. Para maestro yang telah berpulang menjadi cahaya dari langit, sementara yang masih hidup menjadi pelita di bawahnya.
Foto: Dokumentasi Rumah Didong Gayo
⸻
Catatan Kaki:
1. Didong adalah seni pertunjukan khas masyarakat Gayo di dataran tinggi Aceh. Ia memadukan syair religius, sindiran sosial, hingga petuah adat dalam bentuk vokal dan tepukan tangan yang ritmis, biasa dibawakan oleh dua kelompok yang saling bersahutan.
2. Ceh adalah sebutan kehormatan untuk maestro Didong—penggubah syair dan pemimpin kelompok yang menguasai teknik, bahasa, dan filosofi pertunjukan.
3. Banta Cut Winar dan Ceh Sali Gobal adalah maestro legendaris Didong yang telah wafat. Nama mereka masih dikenang dan ditampilkan di dinding penghormatan di Rumah Didong Gayo
4. Foto dalam unggahan ini diambil di Rumah Didong Gayo sebuah ruang komunitas dan arsip budaya yang menyimpan dokumentasi penting seni Didong.
5. Para maestro yang masih hidup dalam foto ini termasuk Ceh M. Din, Ceh Mahlil, dan lainnya, yang hingga kini masih aktif tampil dan membimbing generasi baru.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.