Puisi Esai oleh LK Ara
Pada suatu pagi yang tenang di Wih Nareh, kami menunduk hormat di hadapan pusara seorang maestro. Bukan sekadar berdoa, kami datang membawa kenangan dan kesaksian.
Ceh To’et—maestro Didong Gayo yang dikenal luas karena gayanya yang khas dan penuh jenaka. Ia mendirikan klop Sinar Pagi, menjadi cahaya di tengah kabut zaman. Bahunya yang bergerak lincah saat berdidong, suara yang mengundang tawa dan renung, menjadi bagian dari memori kolektif tanah Gayo.
Di usia tuanya, ia tetap berjalan dari rumah ke rumah, berdidong bukan demi panggung, tapi demi jiwa. Ketika tampil di Jakarta dan kota-kota lainnya, ia didampingi oleh penyair L. K. Ara—yang menerjemahkan bukan hanya syair, tetapi semangat dan cinta tanah Gayo.
Atas pengabdiannya, ia dianugerahi Bintang Jasa Nararya oleh Presiden RI th 2010.
Kini, kami ziarah. Tak hanya kepada batu nisan, tapi pada warisan jiwa.
——
Di tepi jalan Takengon–Isaq
di Wih Nareh yang dibelai kabut dan kenangan,
kami singgah tak sekadar membaca nisan,
melainkan mengakrabi jejak yang telah menjelma irama.
Ceh To’et—
nama yang masih hidup di pangkal lidah para ceh muda,
seorang maestro yang mengubah tawa
menjadi alat tafsir,
mengubah gerak bahu
menjadi pertunjukan sejarah.
Ia mendirikan Sinar Pagi,
klop yang tak hanya bernyanyi,
tapi menyulut cahaya dari suara rakyat,
dari tanah Gayo yang bersajak dan bersahut.
Setiap pertunjukan adalah matahari kecil
yang muncul dari tubuhnya yang lincah,
menebarkan pagi
di tengah malam kesenian tradisi.
Gayanya tak bisa ditiru,
kocak tapi menyentuh,
jenaka tapi menyimpan kearifan.
Bahu yang bergerak seperti daun yang menari dalam angin,
menjadi ciri khas yang membuat panggung terasa hidup,
meski penonton diam terpikat.
Ketika senja mendekat di usianya,
ia tak memilih diam,
melainkan berjalan dari rumah ke rumah,
membawa Didong
seperti petani membawa bibit,
menanam kesenian di tanah-tanah hati yang nyaris tandus.
Dan ketika Jakarta memanggil,
ia datang,
tak membawa sepatu mahal,
tapi membawa suara kampung yang membumi.
Di panggung kota-kota besar,
ia berdidong,
diterjemahkan oleh L. K. Ara—
bukan hanya liriknya,
tapi napas Gayo yang tak mudah dipahami oleh televisi.
Untuk semua itu,
negeri ini pernah menunduk hormat.
Presiden RI sendiri menganugerahinya penghargaan tinggi
dalam bidang seni dan budaya,
karena To’et bukan hanya seorang seniman,
tapi penjaga denyut tanah air
dengan cara yang jenaka dan jujur.
Kini kami datang,
ziarah yang tak mewah
tapi penuh makna.
Kami membawa doa dan sunyi,
membayangkan ia berdiri lagi,
menggerakkan bahunya di bawah langit terbuka,
sementara danau Laut Tawar diam-diam ikut tersenyum.
Ziarah ini adalah pengakuan,
bahwa seni tradisi tak pernah tua
selama masih ada tubuh
yang rela memikul cerita.
Catatan kaki:
1. Ceh To’et adalah maestro Didong asal Gayo yang dikenal dengan gaya unik dan kocaknya dalam berdidong, terutama gerakan bahunya yang khas.
2. Ia mendirikan klop Sinar Pagi, kelompok Didong yang menonjol dalam kancah seni pertunjukan tradisi.
3. Meski telah lanjut usia, ia tetap berdidong dari rumah ke rumah, dan aktif tampil di berbagai kota, termasuk Jakarta.
4. Dalam beberapa penampilannya di luar daerah, ia didampingi L. K. Ara, penyair dan budayawan nasional asal Gayo, yang bertindak sebagai penerjemah dan pendamping kreatif.
5. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan penghargaan kepada Ceh To’et atas dedikasinya yang luar biasa dalam seni dan pelestarian budaya daerah.
6. Wih Nareh, tempat peristirahatan terakhirnya, terletak di tepi jalan utama Takengon–Isaq dan menjadi titik ziarah bagi seniman dan pencinta seni Gayo.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.