Puisi esai oleh LK Ara
Di tengah arus zaman yang makin cepat, suara-suara dari tradisi lisan sering kali perlahan menghilang, tergeser oleh gegap budaya instan. Tapi di Gayo, ada yang masih bersuara—meski lirih. Ceh Didong, sang penjaga syair, sedang mencari makna di balik panggung, tepuk tangan, dan dunia yang kian berubah. Berikut adalah puisi-esai yang berangkat dari syair pribadi Maskawi, suara batin dari Tanoh Gayo yang tak ingin senyap.
bahgie isihen kin tempatmu
suntuk mukale denem aku rinu
gere mera mudemu
nasipku enta kunehen
wo beden … nge nasipmu kunehen… nge nasipku
Ia duduk dalam lingkar Didong yang senyap,
suaranya pelan, seakan bertanya:
“Bahagia—masihkah ada tempat bagimu di panggung kecil ini?”
Ia tahu, syair tak bisa mengenyangkan perut.
Tepuk tangan tak bisa menebus harga beras di pasar.
Tapi ia tetap bersyair.
Karena di sana, di antara bunyi dan bait,
ada sejenis cinta yang tak bisa dijelaskan,
dan luka yang tak bisa dihindarkan.
⸻
ara ke rasamu
lagu perasaanku sabe kurike iwan
sebuku lauh ku dagu si gere ne tereden
Setiap kata yang ia nyanyikan
adalah serpihan kisah yang nyaris hilang:
tentang sawah yang berubah jadi bangunan,
tentang anak-anak yang tak lagi bisa bahasa Gayo,
tentang malam-malam pentas
yang kini lebih sepi dari biasanya.
Dan ia sadar, barangkali ia sedang menyanyikan
kepunahan secara perlahan.
⸻
kusihen aku mungadu
kusihen aku semilu
Ia tidak sedang mengeluh.
Ia sedang bersaksi.
Bahwa menjadi Ceh hari ini
berarti menjadi suara dari yang tak terdengar,
penjaga dari yang ditinggalkan,
dan nyawa dari sesuatu
yang sedang nyaris padam.
⸻
00……….. bahgie kao kuperahi
kao kukenali
Bahagia bukan lagi soal panggung besar,
bukan pula soal hadiah lomba.
Bahagia adalah:
saat anak muda duduk ikut mendengar.
Saat satu-dua remaja mencatat bait,
dan bertanya maknanya.
Bahagia adalah:
saat tradisi tak sekadar dikenang,
tapi diwariskan. Dihidupkan.
Dan ia, sang Ceh Didong,
masih percaya—
suatu hari,
bahagia itu akan menyapanya kembali.
⸻
📎 Catatan Kaki:
1. Ceh: Sebutan untuk maestro atau penembang dalam pertunjukan Didong—seni tutur khas Gayo yang memadukan syair, ritme tepukan tangan, dan gerakan duduk berbaris.
2. Didong: Tradisi lisan masyarakat Gayo, biasanya ditampilkan dalam bentuk pertunjukan kelompok. Selain sebagai hiburan, Didong berperan dalam pendidikan, dakwah, kritik sosial, dan pelestarian nilai-nilai lokal.
3. Maskawi: Penyair muda Gayo yang aktif menulis dalam bahasa Gayo dan Indonesia. Puisinya memotret kegelisahan kebudayaan, pencarian jati diri, dan suara batin masyarakatnya.
4. Bahasa Gayo: Salah satu bahasa daerah di Provinsi Aceh, digunakan di wilayah Dataran Tinggi Gayo (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues). Keberadaannya kian rentan bila tidak diwariskan secara aktif.
5. Regenerasi Seni: Proses pewarisan nilai, teknik, dan semangat berkesenian kepada generasi muda, agar tradisi tetap hidup dan kontekstual di tengah perubahan zaman.
6. Ekosistem Seni Lokal: Jaringan hubungan antara seniman, komunitas, institusi pendidikan, pemerintah, dan publik, yang saling mendukung tumbuhnya seni berbasis budaya setempat.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.