Breaking News

Bagaimana Nasib Ceh Didong

Puisi Esai oleh LK Ara

I

Malam di Gayo tak pernah benar-benar sepi.
Kabut kadang menyelimuti pucuk pinus,
tapi dari bale kecil di ujung kampung
masih terdengar suara:
—tepak tangan, bait, dan dengung,
Didong masih bernyawa.

Namun ceh-nya…
kadang menyanyikan syair yang getir.
Bukan keluhan,
melainkan pengakuan.
Bahwa menjadi ceh hari ini
adalah menjadi penjaga warisan
di tengah zaman yang tak lagi percaya
pada pantun yang lahir dari kejujuran.

II

Ceh itu pujangga rakyat.
Ia bersuara dari kampung,
bukan dari mimbar kekuasaan.
Tapi siapa yang mendengar?
Siapa yang peduli?

nasip ni tukang seni masa ku masa
berjuang kin budaya gere mari mari
langkah pulang ari lagu nango rara
duaun urum kota nge meh iuji

🗣️ (Syair: Ceh Rahmandi – Buana Jaya)

Itu bukan sekadar bait,
tapi suara dari balik dinding sunyi.
Upah mereka bukan nilai seni,
tapi sisa-sisa euforia festival yang basi.

III

Mereka menari kata,
tapi upahnya tak cukup
untuk beli beras seminggu.
Mereka juara lomba,
tapi tetap antre BLT dan sembako.

mejen tibe-tibe gaeh jema mango
didong Gayo si turah irai
250 ribu kin langkah bejege
oyape gule mejen mah kin diri

🗣️ (Syair: Ceh Rahmandi – Buana Jaya)

Syair yang lahir dari perut kosong
dan semangat yang tak pernah benar-benar padam.
Luka mereka kita tepuk dengan foto bersama
yang tak bisa ditukar dengan makan malam.

IV

Tepuk tangan tak cukup.
Foto bersama tak berguna.
Jika setelah panggung padam,
mereka pulang sendiri
dengan tas kosong
dan isi hati yang lebih kosong lagi.

Mengapa kita biarkan ceh Didong
jadi suara yang perlahan tenggelam
di bawah gegap hiburan instan?

Padahal mereka bukan sekadar penjaga seni.
Mereka menjaga makna.
Menjaga bahasa.
Menjaga jiwa.

V

Tapi belum terlambat.
Luka itu bisa dijahit
dengan niat jujur dan dukungan nyata.

Bayangkan:
Didong tampil di YouTube,
dengan terjemahan bahasa Inggris.
Ceh muda bicara tentang perubahan iklim,
tentang sawah, tentang semangat
yang sama-sama nyaris punah.

Bayangkan:
Anak sekolah belajar menulis pantun Gayo,
dan mereka bangga menyebut diri:
Anak Didong.

Bayangkan:
Festival Didong yang bukan hanya kompetisi,
tapi ruang perjumpaan antar-generasi,
tempat belajar, tempat tumbuh bersama.

VI

Mari ubah nasib ceh—
dari kesedihan menjadi kemuliaan.
Dari tepuk tangan kosong
menjadi gerakan konkret.

nasip ni eceh mungkin nge beta
gere bejenta wan mu ngarang sabi
urum pake umah pe mejen berilang mata
ulak ari arena pintu nge be kunci

🗣️ (Syair: Ceh Rahmandi – Buana Jaya)

Itu bukan ratapan,
tapi panggilan agar kita kembali peduli.
Agar ceh bersyair bukan untuk bertahan hidup,
tapi untuk menyalakan hidup—kita semua.

🙏🏽 Hormat untuk para ceh,
penjaga nyawa Didong,
penyambung warisan Gayo.

📣 Jika kamu mendengar mereka,
jangan hanya bertepuk tangan—
tapi ikut bergerak.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca