Puisi Esai oleh LK Ara
Karya ini dipersembahkan untuk Ceh Dut Kala Empan — seniman sepuh yang tak pernah letih merawat akar budaya Gayo lewat syair, suara, dan gerak. Di tengah usia senja, beliau tetap setia menulis dan berkarya, sebab baginya: “Penyair bukan pelawak.”
⸻
Di dataran tinggi berselimut kabut,
tanoh Gayo menyimpan nyanyian lama—
tentang tanah, tentang cinta, tentang luka,
yang tidak hanya terdengar, tapi terasa.
Didong, bukan sekadar seni
ia adalah denyut yang menyatu
antara tari, vokal, dan syair yang mengalir
di tubuh malam para peminum kopi dan pencinta sunyi.
Dalam lingkaran kelop,
suara tak sekadar didengar—ia direnungkan.
Kala Empan, nama yang tumbuh dari kampung
di Bener Meriah yang menggenggam kabut dan waktu.
Di sanalah, tahun 1953, seorang anak lahir dari simpang darah:
ayah dari Blang Kejeren, ibu dari Isaq—
namanya: Daud, tapi sejarah menulisnya sebagai Ceh Dut Kala Empan.
Tahun 1969, kelop Kala Empan pun dibentuk
bermula dari semangat kampung, menjelma gema
yang menggugah panggung-panggung lintas generasi.
Dan di tahun 1971, Ceh Dut resmi bersuara
bukan hanya lantang, tapi dalam—menusuk makna.
“Inen Mayak Pangan Kule”, karya pertamanya,
lahir dari tragedi di Ise-Ise,
seorang pengantin baru yang direnggut harimau
jadi syair, jadi pelajaran,
bahwa hidup di Gayo adalah perpaduan antara cinta dan ancaman.
Dari sana lahir lebih dari seratus lima belas karya
berisi sindiran, nasihat, asmara, adat, dan sejarah
yang tak hanya ditulis, tapi diwariskan.
Kadang, dari layar televisi, ia memungut duka
dari tragedi yang disiarkan
dan mengolahnya menjadi karangan sastra.
“Bukan pelawak,” katanya, “aku penyair dan penyiar.”
Dan dunia tahu, kata-katanya bukan mainan
melainkan cermin bagi yang berani memandang diri.
Denie, Mayang Serungke, Kriting Salon—
judul-judul yang mekar di bibir rakyat
dicover oleh suara seperti Sakdiah,
namun akar maknanya tetap bertahan di tubuh Gayo.
Dari Senayan hingga Takengon
dari Farhan Hamid hingga Dayan Dawoed
penghargaan datang tak selalu diminta
sebab ketulusan akan selalu menemukan jalannya.
Hari ini, ia tinggal bersama istri
di Jalan Lukup Badak, di antara aroma kopi dan naskah
bukunya tergeletak di meja
dan ketika ditanya, “Apakah akan terus berkarya?”
jawabnya tanpa ragu:
“Tentu iya.”
Sebab, ketika tubuh mulai renta,
jiwa penyair tak pernah tua.
⸻
📝 Catatan Kaki:
1. Didong adalah seni tradisional Gayo yang menggabungkan tari, syair, dan vokal secara kolektif dalam formasi kelompok bernama kelop, dipimpin oleh seorang ceh.
2. Ceh Dut Kala Empan adalah maestro Didong yang lahir tahun 1953 di Kampung Simpur, Bener Meriah. Kelop Kala Empan ia dirikan pada 1969 dan mulai aktif sejak 1971.
3. Karya “Inen Mayak Pangan Kule” berdasarkan kisah nyata di Kecamatan Linge, Aceh Tengah. Karya ini mencerminkan kekuatan sastra rakyat dalam merekam tragedi menjadi pelajaran budaya.
4. Ia telah menciptakan lebih dari 115 syair dan lagu, banyak di antaranya populer dan dicover oleh penyanyi Gayo seperti Sakdiah.
5. Pernah menerima penghargaan dari anggota MPR RI Farhan Hamid atas kiprahnya dalam kesenian rakyat yang otentik dan mendidik.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.