LK Ara
(Puisi Esai untuk Pelantikan Bupati-Wakil Bupati 2025–2030)
Di bawah langit Kutacane yang basah oleh doa,
perahu itu akhirnya diluncurkan—
perahu yang lama karam dalam pusaran harapan
dan kini bangkit dengan nama:
Aceh Tenggara.
Tepat di gedung DPRK yang disesaki sejarah,
dengan saksi para pejabat, tokoh, dan rakyat,
dua nama diresmikan bukan sebagai pemilik,
tetapi sebagai nahkoda:
Salim Fahkry dan Heri Al Hilal—
perpaduan tekad yang diikat sumpah.
Tak hanya kursi dan palu paripurna yang bicara,
tapi juga suara langit yang dibacakan dalam janji:
“Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur,”
sebuah negeri yang baik
di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pengampun.
Gubernur Muzakir Manaf,
dengan sorot mata yang menyimpan sisa perjuangan,
mengulurkan kata:
“Bangsa Aceh harus bersatu menjaga NKRI.”
Sebab hanya dalam kesatuan,
jalan menuju kemajuan bisa diratakan
meski batu dan hujan kerap menjegal.
Lalu berdirilah Salim Fahkry,
dengan suara yang mencairkan jarak antara podium dan rakyat:
“Tidak ada Bupati nomor satu,
tidak ada Wakil nomor dua.
Yang ada: dua tangan yang sama-sama mendayung.”
Maka kita tahu,
ini bukan sekadar pelantikan.
Ini penandatanganan perjanjian tak tertulis
antara pemimpin dan tanah yang mereka pijak.
Para petani menyimak dari ladang,
para nelayan dari pinggir sungai Alas,
anak-anak dari kelas yang masih menunggu cat baru—
dan semua berkata dalam hati:
“Jangan hanya ingat kami saat sumpah diucapkan.”
Aceh Tenggara bukan hanya panggung protokol,
tapi juga tanah banjir yang minta solusi,
ketersediaan pupuk yang minta keadilan,
dan 16 kecamatan yang memikul sejarah,
bukan sekadar angka dalam administrasi.
Salim Fahkry menjanjikan:
program 100 hari yang bukan sekadar seratus lembar rencana.
Ia bicara tentang pangan,
tentang pupuk bersubsidi yang tak terjebak birokrasi,
tentang silaturahmi yang bukan sekadar seremoni—
tapi ruang lapang tempat rakyat merasa diundang,
bukan ditonton.
Dan Heri Al Hilal,
dengan langkah sunyi tapi mantap,
menjadi tanda bahwa dalam kapal ini
dua kemudi bisa satu arah,
bila niatnya bukan gengsi,
melainkan mengangkat wajah rakyat sendiri.
Maka mari kita pantau,
bukan dengan curiga,
tetapi dengan cinta yang kritis,
agar janji tidak menguap jadi tepuk tangan belaka.
Mari kita doakan,
agar perahu ini tak karam di tengah jalan.
Agar pelantikan ini bukan klimaks,
tetapi prolog bagi perjalanan lima tahun
menuju tanah yang dicita-citakan.
Aceh Tenggara, perahu kita bersama.
Jika engkau tenggelam,
maka tenggelam pula harapan
anak-anak yang belum pernah berfoto
di depan gapura megah pembangunan.
⸻
Catatan Kaki:
1. Perahu adalah metafora kepemimpinan dan arah masa depan daerah, sesuai dengan pidato Ketua DPRK.
2. Penyebutan figur publik menggarisbawahi legitimasi politik dan sosial atas pelantikan ini.
3. Puisi ini memadukan bahasa protokol dan bahasa rakyat sebagai bentuk puisi esai yang menjembatani dunia kekuasaan dan dunia harapan.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.