Puisi esai LK Ara
“Ada pekik yang tak pernah hilang
meski kota ini hanya sepekan jadi pusat riang
republik yang hampir kehilangan nama.”
⸻
Kala Yogyakarta rebah
dan senjata Belanda memekik di lorong-lorong kenangan,
Bireuen membuka dada—
bukan untuk pasrah,
tapi menampung sisa-sisa semangat
yang mengalir dari darah para founding father
ke nadi-nadi rakyat di tanah utara.
Sejarah tak menuliskan Bireuen dalam buku besar ibu kota
dengan tinta tebal dan emas,
tapi rakyat tahu—
ada hari-hari saat republik hampir kehilangan rumah,
dan kota kecil ini bersedia menjadi alas pijak
untuk negeri yang nyaris lumpuh oleh luka penjajahan.
Bireuen, kota yang tak disebut di awal perang,
tapi disebut dalam doa para pemimpin yang disergap malam.
Dalam seminggu yang penuh gentar,
ia memikul tugas ibu kota
seperti memikul bayi yang baru lahir
di tengah api dan mesiu.
Para pejuang tak mengenakan jas,
mereka bersarung, berkopiah,
menyembunyikan peluru di balik lemang dan doa.
Mereka bukan kabinet resmi,
tapi setiap keputusan diambil
dengan nadi bergetar oleh cinta tanah air.
“Tanyakan pada meriam tua
kenapa suaranya menggema hingga ke perbatasan Batee Iliek.
Karena Bireuen tidak tidur,
kala Republik terancam dibungkam peti.”
⸻
Malam-malam panjang
dilalui dengan radio yang berbisik
dan para ibu yang menanak nasi
sembari mengintai langit.
Kabar tentang Bung Hatta dan Syafruddin
menyelinap lewat jala informasi rakyat—
mereka tahu,
jika hari ini diam,
besok mungkin tanah ini hanya jadi halaman
dari buku kolonial yang disusun ulang.
Tapi Bireuen bukan lembar kosong.
Ia mencatat sejarah dengan darah dan nisan.
Dengan senyum anak-anak
yang terus sekolah meski suara dentuman
jadi bel istirahat paling menakutkan.
⸻
Kini, tak banyak yang ingat
bahwa republik pernah bergantung pada kota ini.
Bahwa naskah-naskah kemerdekaan
pernah dibaca ulang dalam rumah-rumah panggung
di tengah gempuran agresi militer kedua.
“Bireuen bukan kota besar,
tapi cukup luas untuk menampung semangat sebuah bangsa.”
⸻
Wahai generasi yang hidup di hari damai,
jika kau berjalan melewati Simpang Empat,
atau menatap bendera di alun-alun,
ingatlah—
di sanalah dulu republik menumpang harap,
mengeja kembali kata ‘merdeka’
dalam aksen Aceh yang gagah.
Bireuen, sepekan jadi ibu kota,
selamanya jadi lambang juang
bagi mereka yang tak pernah mundur
meski bumi sempit dan langit gemetar.
⸻
📝 Catatan Kaki:
1. Kenapa Bireuen disebut Kota Juang?
Menurut para sesepuh di Bireuen, kota ini pernah menjadi ibu kota ketiga Republik Indonesia selama sekitar satu minggu setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer II (Desember 1948).
2. Peran strategis Bireuen:
Selama masa darurat, berbagai wilayah di Sumatra menjadi sandaran Republik, termasuk Bireuen. Kota ini menyediakan perlindungan, logistik, dan semangat juang rakyat yang luar biasa.
3. PDRI dan perjuangan rakyat:
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk di Sumatra Barat oleh Syafruddin Prawiranegara. Namun perlawanan dan keberlangsungan Republik ditopang oleh banyak titik, dan Bireuen menjadi salah satunya yang paling heroik.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.