Puisi Esai LK Ara
I. Di Antara Gunung dan Takbir
Di kaki barat Pegunungan Leuser,
angin membawa harum kayu jati dan suara azan,
menyeruak di antara perbukitan dan pasar kecil,
tempat orang-orang Alas menyebut “Kutacane”
dengan intonasi cinta yang diwariskan.
Masjid ini,
bukan hanya tempat bersujud—
tetapi benteng doa yang tahan gempa,
hingga delapan skala bumi menjerit pun,
ia tetap berdiri dalam takzim.
Langit sore tak pernah enggan menyapanya,
karena kubah emasnya berkilau seperti doa
yang belum selesai diucapkan,
tapi sudah sampai ke langit.
⸻
II. Angka yang Bicara tentang Iman
Tujuh puluh dua miliar lebih,
bukan sekadar hitungan lembar rupiah,
melainkan lembar harapan
yang ditanam di antara batu bata dan granit Laxmi Red.
Ada yang mencibir jumlahnya,
ada pula yang menangis haru—
sebab mereka tahu,
tak semua yang besar adalah pemborosan,
dan tak semua yang sederhana adalah ketulusan.
Tapi masjid ini menjawab dengan keindahan:
sepuluh ribu watt suara,
lima kubah utama,
lima belas kubah pendamping,
empat menara penjaga waktu.
Dan di antara lampu-lampu bentuk bunga,
air mancur,
dan kilau black gold granite di halaman,
ada gema tasbih yang tak pernah padam
sejak pertama saf dibuka.
⸻
III. Ukiran Adat, Kaligrafi Langit
Masjid ini tak meniru siapa-siapa—
ia berdiri dalam dirinya sendiri,
dengan ukiran khas Alas Gayo
yang bicara dalam bahasa warna:
kuning keemasan, cokelat tanah, hitam pekat akar budaya.
Di tiang dan dinding,
kaligrafi mengalun seperti dzikir kayu jati
yang telah puluhan tahun menyimpan doa diam.
Bukan sembarang ornamen,
tapi tanda bahwa di sini Islam bertemu akar,
agama tak terpisah dari identitas,
dan ibadah adalah bagian dari adat yang tak tercerabut.
⸻
IV. Tempat Janji dan Pulang
Di ruang dalam yang mampu menampung empat ribu jiwa,
dan di luar yang bisa menyambut dua ribu lagi,
banyak kisah bermula.
Pasangan muda memulai rumah tangga di bawah kubah ini,
di antara saksi keluarga dan bidadari tak kasat mata,
dengan khutbah yang menyejukkan
seperti embun pukul lima pagi.
Anak-anak belajar mengucap huruf-huruf Arab
di lantai yang bersih seperti niat,
sementara lansia menatap ke arah mihrab
dengan tatapan yang menyerahkan segalanya.
Tak ada hiruk,
kecuali kesyahduan
yang membuat kota kecil ini terasa seperti negeri akhirat.
⸻
V. Di Malam Hari, Ia Menjadi Syair
Lihatlah dari kejauhan malam hari—
lampu hias menyala lembut,
bukan seperti gedung megah yang ingin dipuja,
tapi seperti kalimat syahadat yang merunduk dalam cahaya.
Air mancur bergoyang perlahan,
seakan menari untuk Tuhan.
Kutacane menjadi taman zikir,
dan At-Taqwa adalah puisinya—
ditulis oleh arsitek,
disunting oleh iman,
dilantunkan oleh setiap jamaah yang datang dengan hati bersih.
⸻
VI. Lebih dari Sekadar Bangunan
Bukan fasilitas yang membuat masjid ini agung,
bukan juga dana besar atau arsitek ternama.
Tapi karena ia menjadi rumah bagi semua:
imam besar yang tinggal di rumah sekitarnya,
warga yang mencuci kaki dari lelah dunia,
pejalan dari Sumatera Utara yang singgah dan berdoa,
turis dari negeri jauh yang terpana bukan hanya oleh bentuk,
tapi oleh jiwa yang tak bisa dijelaskan oleh brosur pariwisata.
Di sinilah kita mengerti,
bahwa rumah Tuhan tak perlu malu menjadi indah—
asal keindahannya bukan demi sombong,
tetapi demi memuliakan Yang Maha Indah.
⸻
Catatan Kaki
1. Masjid Agung At-Taqwa Kutacane adalah masjid kebanggaan masyarakat Aceh Tenggara, terletak di pusat Kota Kutacane, Kecamatan Babussalam.
2. Masjid ini dibangun tahan gempa hingga 8.0 SR dan dihiasi corak khas adat Alas Gayo.
3. Biaya pembangunan mencapai hampir Rp 73 miliar, dengan fasilitas lengkap seperti air mancur, lampu hias, internet, dan granit pilihan.
4. Selain tempat ibadah, masjid ini menjadi destinasi wisata religi dan ruang sosial budaya, termasuk lokasi ijab kabul dan belajar agama.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.