Danau itu—cermin langit di dada bumi,
menyimpan rahasia dalam lipatan sunyi,
tapi kini luka-luka kecil mulai bernyanyi,
oleh besi-besi haus yang menari di dasar nurani.
Cangkul padang, burung besi tak bersayap,
mengoyak rahim air tanpa isyarat,
cangkul dedem, kuku-kuku tajam tak beradab,
menggugurkan benih sebelum sempat menghirup hayat.
Surat teguran, angin dari menara kekuasaan,
datang seperti hujan pertama di musim pelupaan,
bertinta harap dan kekhawatiran,
agar danau tak menjelma kolam kematian.
Wahai penjaga mata air peradaban,
jangan biarkan danau menjadi jubah yang sobek di tangan,
ia bukan sekadar genangan,
tapi kitab tua penuh hikmah dan kehidupan.
Lut Tawar adalah rahim zamrud yang nyeri,
tempat ikan berzikir, dan ombak bersajak pagi,
bila ia mati, maka langit pun akan sunyi,
dan burung-burung kehilangan tempat kembali.
Presiden telah menulis di batu waktu:
danau ini pusaka dalam tiga wajahnya—
ekonomi yang menghidupi, ekologi yang menyucikan,
dan budaya yang mengingatkan kita pada asal mula.
Jangan sampai cangkul berubah menjadi nisan,
dan air menjadi air mata terakhir peradaban,
sebab ketika danau tak lagi bernapas,
kita semua hanyalah bayang-bayang yang patah di atas gelas.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.