Breaking News

NYANYIAN OMBAK UNTUK TEUKU UMAR

Puisi Essay: LK Ara

Narasi Pembuka

Di Lhoong, Aceh Besar, ombak tak sekadar menggulung pasir.
Ia membawa kenangan.
Tebing-tebing karang menyimpan gema takbir,
dan suara rapai menggema seperti zikir.
Nama Teuku Umar tak hanya tertulis di batu nisan,
tapi mengalun dalam ombak,
bersemayam di hati rakyat yang tak gentar. [^1]


Puisi

Di Lhoong, ombak berbisik dalam doa,
menjadi saksi perjalanan yang tak terlupa.
Rapai berdentum—zikir alam yang tak henti,
mengiringi langkah Teuku Umar menuju medan yang pasti. [^2]

Gunung-gunung berdiri sebagai saksi bisu,
mereka tahu: perjuangan ini suci.
Langit terkulai bersama angin yang membawa doa,
dan laut, laut itu, bergulung dengan takbir yang membara. [^3]

Teuku Umar—pedangnya berkilau memecah gelap,
tebing curam menjadi saksi kebulatan tekad.
Bersama rapai, suara ruh kehidupan,
ia melangkah, memikul amanah dengan keyakinan. [^4]

Alam bersaksi—laut berzikir, angin bertasbih,
tebing-tebing menunduk dalam tunduk sunyi.
Semua bersatu dalam satu irama:
perlawanan pada penjajah yang datang membawa dusta.

Rakyat letih, tubuh mereka hampir patah,
namun doa tetap terucap dari bibir pasrah.
Mereka mengiringi sang pahlawan,
dengan harapan yang tak padam, meski derita begitu dalam.

Rapai: suara doa yang menguatkan hati.
Pedang: cahaya keadilan yang tak kenal takut.
Keduanya bersatu, membelah ketakutan dan gelisah,
menuntun Teuku Umar menuju kemenangan dan pembebasan. [^5]

Di antara tebing dan laut, ia bertempur,
membawa cita tanah ini dalam darah yang tumpah.
Namun alam tak pernah lupa:
setiap langkah adalah zikir abadi, setiap napas adalah doa.

Kini aku hanya mendengar kisah ini—
tak menyaksikan dengan mata, tapi dengan hati yang bergetar.
Bangga pada perjuangan yang tak terlihat,
namun terasa, seperti suara ombak yang terus mengalun.


Narasi Penutup

Di negeri yang kadang lupa pada pahlawan,
biarlah ombak terus bernyanyi,
mengingatkan kita bahwa tanah ini
pernah dibela dengan darah dan takbir yang tulus.


Pesan untuk Generasi Mendatang

Wahai generasi penerus, dengarlah bisikan alam:
Jangan seperti air yang mengalir ke banyak arah,
tapi bersatulah seperti akar yang menyatu di tanah.
Sebab bila satu akar goyah, pohon pun akan tumbang.
Jangan saling merebut sinar matahari,
tapi tumbuhlah bersama dalam cahaya yang sama.


Banda Aceh – Kalanareh, 2022–2024


Catatan Kaki:

[^1]: Lhoong – Sebuah kecamatan di Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Tempat ini memiliki sejarah panjang dalam perjuangan rakyat Aceh, termasuk Teuku Umar.

[^2]: Rapai – Alat musik tradisional Aceh yang berbentuk rebana besar. Digunakan dalam kesenian, upacara keagamaan, dan perjuangan rakyat sebagai pengobar semangat.

[^3]: Teuku Umar (1854–1899) – Pahlawan nasional asal Meulaboh, Aceh Barat. Dikenal sebagai pejuang cerdas yang pernah berpura-pura tunduk kepada Belanda untuk memperoleh senjata, lalu kembali memimpin perlawanan.

[^4]: Zikir dan Takbir – Dalam budaya Aceh, unsur spiritual sangat menyatu dengan perjuangan. Takbir dan zikir tidak hanya ritual, tapi juga kekuatan batin melawan penindasan.

[^5]: Pedang dan Rapai – Simbol fisik dan spiritual dalam perjuangan. Pedang melambangkan keberanian, sedangkan rapai melambangkan spiritualitas dan kebudayaan rakyat Aceh.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca