Oleh: Rocka Morta
Munna Bhai duduk bersila di tepi trotoar. Bibirnya mengapit dua batang sigaret Gold Flake Kings. Rokok tersebut tampak benyek, tetapi ia belum berniat mengisapnya. Ia kini mengeluarkan selembar tisu. Setelah merentangkan tisu tersebut ke atas paha dengan hati-hati, ia taruh kedua batang rokok tersebut baik-baik di tengah, kemudian melipat setiap ujung tisu sebelum membalut isinya sampai berbentuk seperti palai. Ia tekan bungkusan itu sedikit lagi sampai terasa lebih padat sebelum menyelipkannya ke dalam saku baju.
Pada saat yang hampir bersamaan, seorang bocah melambaikan tangan kepadanya dari seberang jalan. Awalnya, ia tidak dapat melihat dengan jelas wajah bocah itu karena terhalang oleh lusinan kendaraan yang lalu-lalang di tempat itu. Lampu kendaraan-kendaraan itu bikin matanya silau. Namun, setelah mengetahui siapa gerangan bocah tadi, Munna Bhai pun memberi isyarat dengan jempol sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Munna Bhai menuju ke sebuah tenda yang terletak hanya beberapa langkah dari tempatnya barusan. Tenda itu adalah tempat tinggal Munna Bhai beserta keluarganya. Anak-anak sudah tertidur lelap, tetapi di mana Manjula? Munnai Bhai tidak melihat perempuan itu di sana. Ia pun melihat sekeliling, berusaha menemukan wajah istrinya di antara orang-orang yang mengerumuni gerobak pedagang sepanjang pedestrian, tetapi nihil.
“Pergi ke mana perempuan itu?” Munna Bhai mendengus. Ia menggerutu sambil menggaruk-garuk tengkuknya sendiri sementara bocah di seberang jalan kembali menyeru. Anak laki-laki itu bahkan menggunakan tangannya sebagai corong agar suaranya terdengar lebih lantang.
Sesaat kemudian, sesosok perempuan berjalan mendekat dari kejauhan. Sorotan lampu kendaraan menyenteri wajah dan punggungnya secara bergantian. Biji mata mata perempuan itu seperti kelereng putih yang sedang melayang-layang di udara. Ia seakan hendak melawan setiap sorotan cahaya lampu yang mengarah kepadanya. Perempuan itu mempercepat langkah sambil menarik ujung roknya yang lebar ke atas. Ujung selendang dupatta yang ia kenakan ikut berjumbaian akibat empasan sikunya sendiri.
Wajah perempuan itu tampak merengut seperti sedang menaruh kesal terhadap sesuatu. Namun, saat ini bukan cuma dia yang sedang kesal. Di depan sana, Munna Bhai terlihat menopang pinggul dengan raut wajah yang sama. Sayangnya, Manjula tidak memedulikan suaminya itu sama sekali. Ia melewati laki-laki itu begitu saja, berjalan tergesa-gesa menuju ke belakang tenda lalu terdengar membongkar-bongkar tumpukan barang. Sesaat kemudian ia muncul kembali dengan sebongkah busa. Ia tetap tidak mengacuhkan Munna Bhai. Perempuan itu melenggak di depan suaminya dengan wajah ketus.
Mukanya persis tomat tua, Munna Bhai memandang sinis serta mencibir istrinya dari dalam hati. Ketika mengatakan bahwa ia akan keluar sebentar bersama si bocah Mangguli, istrinya tetap tidak merespons bahkan berpura-pura terlelap dengan posisi punggung membelakangi mulut tenda. Perempuan itu tampak berbagi selimut dengan ketiga anak-anaknya.
Seandainya siang hari, akan tampak bahwa langit-langit tenda itu penuh dengan pakaian yang menggelantung rendah, pengap dan berbau apak. Tenda itu terbuat dari terpal hitam. Munna Bhai merentangkan setiap sisi terpal dengan tali yang ia tarik serta ikatkan pada benda-benda yang bisa ia manfaatkan di sekitar tenda. Seperti pagar sampai batu bata.
Terletak di depan sebuah gedung, tinggi tiang penopang terpal tenda itu hanya sebahu orang dewasa. Keberadaannya memberi kesan semak. Beberapa bongkahan batu bata yang warnanya menghitam berserakan di mana-mana. Manjuli memanfaatkan batu bata tersebut sebagai tungku. Area sekitar tenda kerap bergonta-ganti fungsi. Mulai dari dapur, tempat bermain Ravikumar, Kovind, dan si kecil Laksmi, hingga parkiran becak tua milik Munna Bhai.
Untuk ukurannya yang sempit, tenda itu hanya berguna sebagai tempat berlindung dari terik matahari serta dinginnya udara pada malam hari. Munna Bhai dan istrinya bertahun-tahun hidup di bawah tenda. Mereka nomaden, seperti keluarga dari kasta Dalit kebanyakan, yang menyebar di beberapa bahu jalan pinggiran Distrik Bihar. Tenda jadi saksi bagaimana ia dan istrinya bercinta di bawah malam. Di bawah gelapnya bayang-bayang kemiskinan, bercinta setidaknya menjadi pelipur lara. Namun, pada malam-malam yang lain, mereka terbiasa duduk berjam-jam lamanya sambil menatap kendaraan yang lewat memecah genangan air selepas hujan dari bawah tenda mereka.
“Perempuan itu tidak lagi memiliki rasa hormat lagi kepada suami, dasar sialan.”
Munna Bhai merutuk, bergumam sebelum berbalik meninggalkan tenda. Selagi menunggu kesempatan untuk menyeberang jalan, Manjula rupanya menangkap gumaman suaminya itu. Kini perempuan itu sedang berdiri di mulut tenda dengan gayung plastik yang segera melayang. Beruntung bagi Munna Bhai, lemparannya meleset dan menghantam aspal, terbelah dua tepat di hadapannya.
“Cukimai!” Munna Bhai melompat kaget.
“Kau sudah gila, ya?! Kalau benda itu mengenai kepalaku bagaimana?” suami Manjula terlihat melotot.
“Aku tidak peduli!” ketus Manjula. Hanya dalam hitungan detik, perempuan itu sudah kembali ke dalam tenda.
Nama bocah itu adalah Mangguli, umurnya belasan tahun, juga hidup di bawah tenda bersama ibunya. Komunitas kecil paria di wilayah itu mengenalnya sebagai piatu yang periang. Mereka kerap membawanya ke dalam kelompok, berbagi makanan dan keceriaan. Kini, ia dan Munna Bhai berniat mengunjungi sebuah bioskop di tengah kota.
Bioskop itu baru buka dua pekan lalu. Malam ini, mereka akan memutar film ketiga. Manajemen bioskop mempromosikan film tersebut melalui selebaran ke mana-mana. Mangguli menemukan salah satu lembaran tersebut tertempel di tiang listrik.
Pada malam harinya, dia memperlihatkan selebaran tersebut kepada Munna Bhai. Di dalam selebaran itu terlihat tiga orang pemeran laki-laki, salah satunya adalah aktor utama Amitabh Bachchan berbalut singlet merah bergaris tepi kuning dan gaya rambut belah tengah yang jatuh menebal ke samping serta mengacungkan tinju. Di bawahnya terdapat gambar tiga perempuan yang berpose seperti penari. Seandainya Munna Bhai bisa membaca, ia akan tahu bahwa judul film itu adalah Naseeb.
“Kau tahu dari mana kalau film itu akan mereka putar besok malam?” tanya Munna Bhai.
“Dari Tuan Pradesh, penjual susu yang suka berdiri di lampu merah,” tunjuk Mangguli.
“Hei, nak, memang si tua itu bisa membaca?”
“Aku pernah meminta tuan Pradesh membaca koran, dan dia bisa mengeja nama Neelam dengan baik.”
“Semua orang juga tahu kalau itu Neelam Sanjiva Reddy, hanya dengan dengan melihat wajahnya saja, bodoh!” ketus Munna Bhai waktu itu.
Kini mereka sampai di sebuah persimpangan. Perlu beberapa puluh meter lagi untuk sampai ke bioskop. Dari simpang itu, mereka harus menyeberang sebelum menemukan sederet toko yang hanya buka pada siang hari. Di situ terdapat sebuah gang yang bisa menjadi jalan pintas.
“Kau yakin ini jalannya, nak?”
“Menurut Tuan Pradesh harus masuk ke gang yang di samping toko bergambar dewa lalu lurus sampai menemukan bagian belakang pasar,” jelas Mangguli.
“Baiklah.”
Mereka kini berada di antara ruko ketiga dan keempat. Bagian depan bangunan-bangunan tersebut tampak temaram dan sepi, kecuali ruko paling sudut karena adanya paparan lampu neon dari papan nama salah satu toko. Nama toko tersebut menandakan bahwa mereka menjual karpet di tempat itu. Rajput Galicha, demikian namanya.
Ternyata ada beberapa lelaki yang sedang berkumpul dalam satu meja kecil di tempat itu. Tawa mereka terkadang meledak dan memecah keheningan. Mereka baru selesai bermain kartu dan sekarang sedang mengaso. Orang-orang yang duduk meriung itu awalnya tidak peduli sama sekali dengan keberadaan Munna Bhai dan Mangguli sampai seseorang berteriak memanggil ketika Munna Bhai dan bocah itu berusaha mengendap-endap memasuki bibir gang
“Sialan!” Munna Bhai memaki di dalam hati.
“Aku tidak pernah melihatmu?” tanya orang yang memanggil begitu Munna Bhai dan Mangguli berada di depan mereka.
Melihat gesturnya, laki-laki ini pasti dalam pengaruh alkohol walaupun ia berusaha seakan semuanya baik-baik saja. Usahanya malah terkesan ganjil, kelopak matanya terlalu berat untuk ia angkat sementara lidahnya tertekuk ke atas ketika berbicara dan terdengar pelo.
Lelaki botak itu amat membanggakan kumisnya yang tebal. Itu adalah kumis dengan ujung yang menekuk dan lancip ke atas. Ia seakan berkewajiban untuk memilin-milin salah satu ujung kumisnya itu. Ia terbiasa berbicara sambil menopangkan salah satu sikutnya ke pinggir meja sementara tangan satu lagi ia gunakan untuk menggosok-gosok daki di batang lehernya.
Ketika lelaki botak sibuk dengan Munna Bhai, yang lain menatap Mangguli. Bocah itu bersembunyi di belakang, tampak kumal dan tidak mengenakan alas kaki. Leher baju kausnya lebar sebelah, menganga sampai ke bahu. Wajahnya berminyak dan kini sedang menggaruk-garuk pergelangan kakinya sendiri. Seseorang di sudut meja sebelah kiri tiba-tiba saja meludah ke lantai.
“Dasar kotoran!” ucap pria itu.
“Bhaee saahab, kami hanya numpang lewat sebentar,” Munna Bhai memohon dengan mengangkat kedua tangannya dan terlihat memelas.
“Kalian bikin kami mual,” bentak lelaki lainnya.
Munna Bhai kembali mengangkat tangannya lalu mengambil langkah bermaksud mundur. Pada waktu yang hampir bersamaan, tanpa ba-bi-bu, salah seorang dari lelaki itu maju lantas menghujamkan lututnya ke perut lelaki itu.
Bola mata Munna Bhai seketika berputar-putar. Rasa sakit menumpuk di ulu hatinya. Ia berusaha menumpukan tangannya ke lantai. Saat itu, seseorang langsung menyambar koran dari atas meja, menggulungnya, kemudian mengempaskannya ke kepala Mangguli. Melihat itu, Munna Bhai langsung menarik lengan bocah tersebut, lalu mundur beberapa meter.
“Maafkan kami, tuan—,” Munna Bhai menunduk sebelum beranjak dari tempat itu dengan tergesa-gesa sambil berpura-pura tertatih.
Di kejauhan, orang-orang itu terdengar tertawa terbahak-bahak.
“Anda tidak apa-apa, Tuan Munna?” tanya Mangguli, ketika mereka telah menjauh dari kumpulan tadi dan kini sedang duduk pada undakan sebuah parit besar.
“Aku tidak apa-apa, kau sendiri bagaimana?” ia balik bertanya.
“Mereka memukul kepalaku dengan koran,” jawab Mangguli sambil meraba ubun-ubunnya.
“Mengapa para Rajput itu membenci kita?” imbuh bocah itu.
Munna Bhai tidak menjawab. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan bungkusan tisu berisi rokok serta macis dari saku celananya.
Ia embuskan asap rokok tersebut seperti melepaskan sebuah beban yang amat berat, lalu menatap anak kecil yang ada di sampingnya dalam-dalam. Ingatannya mendarat pada sebuah peristiwa beberapa tahun lalu.
Suatu malam, Munna Bhai dan Paswan, seorang laki-laki yang baru merayakan kehamilan pertama istrinya, terjebak bersama kerumunan yang sedang merayakan sebuah parade. Orang-orang bergembira. Kebaikan telah menang atas kejahatan. Massa membakar sebuah patung besar, sebagai simbol kekalahan Raja Iblis. Munna Bhai dan Paswan sempat menikmati perayaan itu sampai seseorang menunjuk-nunjuk ke arah mereka.
Ia tidak ingat detail peristiwa itu. Yang ia ingat, orang-orang mulai menggila. Mereka mengangkat tubuh Paswan yang sudah tidak berdaya. Sesaat kemudian, bau hangus daging terbakar menyeruak di antara kerumunan yang larut itu.
Cukup sampai di situ, Munna Bhai terbangun dari lamunan. Ia tertegun. Peristiwa itu hanya beberapa detik merayap ke dalam kepalanya. Bara rokok di jarinya terlihat amat merah.
“Ayo kita pulang.”
Setelah mengantar Mangguli, kini Munna Bhai berada di mulut tenda, memandangi istri dan ketiga anaknya yang sedang terlelap. Mungkin sekarang pukul dua dini hari, tetapi ia ragu. Mungkin pukul satu. Sudahlah, lagi pula waktu tidak begitu berarti baginya. Ia hanya ingin tidur. Rasa sakit bekas tendangan tadi masih terasa sampai ke ubun-ubun.
Munna Bhai merebahkan tubuhnya dengan wajah menatap langit-langit tenda. Namun, itu hanya sebentar. Perlahan ia memutar badan lalu menyelipkan salah satu lengannya di antara kepitan ketiak Manjuli. Istrinya yang sejak tadi mengetahui kedatangan suaminya pun langsung mengangkat sedikit badannya, memberi ruang bagi lengan Munna Bhai untuk merengkuhnya. Perempuan itu kini berada di dalam dekapan Munna Bhai.
“Kau tidak marah lagi, kan?” Munna Bhai setengah berbisik ke telinga istrinya.
“Ke mana saja kau dan anak itu pergi?”
“Maaf—”
“Aku akan menggantinya. Besok aku akan datang ke rumah Tuan Sarjan. Dia belum memberi upah untuk kotoran sapinya kemarin.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” kini wajah Manjula dan Munna Bhai saling bersitatap. Napas mereka saling beradu di dalam gelap.
“Kami ke bioskop,” jawab Mannu Bhai.
“Kau harusnya tahu bahwa mereka tidak akan membiarkan kalian masuk ke sana.”
“Aku tahu. Aku juga tahu bahwa tidak ada satu pun film yang mereka putar malam ini, tetapi, bocah itu—.”
“Kau masih merasa berhutang kepada Paswan?”
Munna Bhai terdiam.
“Itu adalah tragedi, bukan salahmu.”
“Sudahlah, ayo kita tidur.”
“—, tetapi kau tetap harus datang ke tempat Tuan Sarjan atau kita akan kelaparan.”
“Baiklah—,” Munna Bhai mencium kening istrinya. Namun, saat itu dia sedang tidak ingin bercinta.[]
⍟⍟⍟