Puisi Esai oleh L K Ara
Pada tahun 1948,
ketika republik nyaris padam,
dan cahaya kemerdekaan hampir lenyap ditelan debu agresi,
Presiden Sukarno tak bersandar pada istana,
tapi menoleh jauh ke ujung barat negeri:
Aceh – pelita dalam gelap
yang bersinar bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk tanah air
yang terengah dalam sakratulmaut sejarah.
Kenapa ke Aceh?
Kenapa bukan daerah lain yang lebih dekat, lebih mapan?
Karena ketika batang republik hampir patah,
Aceh adalah akar tua
yang mencengkeram tanah dengan iman.¹
Bukan sekadar provinsi,
tapi dada yang masih berdegup untuk republik
ketika kota-kota besar telah jatuh dalam diam.
Presiden hanya meminta satu pesawat,
tapi Aceh menyumbangkan dua burung besi—
yang bukan hanya membawa logistik,
tapi juga membawa martabat bangsa
yang tertunduk di hadapan dunia.²
Bukan sekadar badan pesawat,
melainkan sayap bagi republik yang mulai tumbuh.
Dari gampong ke gampong,
emas dikumpulkan seperti darah
yang rela dicairkan demi kehidupan negeri.³
25 kilogram emas untuk satu Dakota,
dan Aceh berkata:
“Kalau satu belum cukup, kami beri dua.”
Tak cukup pesawat,
Aceh juga menyerahkan setengah juta Dolar Singapura,
bukan dari rekening pemerintah,
tapi dari petani, saudagar, dan rakyat kecil
yang memilih kelaparan
asal Indonesia tetap bernyawa.
Sebagian untuk membiayai angkatan perang,
agar bedil republik tetap bersuara.
Sebagian lagi untuk diplomasi—
peluru diplomatik yang menembus ruang sidang
dan meja perundingan internasional.⁴
Uang itu mengalir ke New Delhi, ke Singapura,
dan ke jalan pengembalian republik dari Bukittinggi ke Yogya.
Namun pengorbanan paling sunyi terjadi di tengah hutan.
Radio Rimba Raya,
jantung republik yang berdetak dari dalam rimba Aceh Tengah,
menyiarkan dengan getir namun tegas:
“Indonesia masih ada di Aceh.”⁵
Siaran itu, ditangkap Radio New Delhi,
disebarkan ulang ke dunia,
membantah klaim Belanda yang menyatakan:
“Indonesia sudah tiada.”
Padahal di tengah kabut pinus dan kabar kelam,
Aceh meniupkan nafas terakhir yang menyambung hayat negeri.
Dan jika saja saat itu Aceh memilih bungkam,
jika saja Aceh berkata:
“Itu bukan urusan kami”,
maka barangkali hari ini
tak ada lagi nama Indonesia di peta,
hanya nama lama: Hindia Belanda.
Wahai Indonesia,
jika hari ini engkau berdiri megah,
jangan lupakan siapa yang menopangmu
saat engkau nyaris roboh.
Jika hari ini engkau menulis ulang sejarah,
jangan hapus halaman Aceh
yang ditulis bukan dengan tinta,
melainkan dengan darah, emas, dan kesetiaan.
Aceh adalah guci tua di ujung barat
yang menyimpan air kehidupan saat negeri ini kehausan.
Dan pengkhianatan pada guci itu,
adalah pengkhianatan pada awal kelahiranmu sendiri.
⸻
Catatan Kaki
¹ Akar tua: simbol bahwa Aceh, meski terpinggirkan secara geografis, adalah kekuatan dasar yang menopang Indonesia.
² Burung besi: metafora untuk pesawat Dakota; alat terbang yang membawa harapan dan martabat.
³ Emas sebagai darah: melambangkan bahwa rakyat Aceh mencurahkan harta dari kedalaman rasa cinta tanah air.
⁴ Peluru diplomatik: dana sumbangan digunakan untuk membiayai perjuangan diplomasi agar RI tetap diakui dunia.
⁵ Radio Rimba Raya: siaran rahasia dari Aceh Tengah yang menyatakan Indonesia belum tunduk; kontra-narasi terhadap klaim Belanda.
⸻
Penutup:
Indonesia lahir dari darah dan doa,
tak boleh tumbuh dari lupa dan durhaka.
Aceh tak pernah meminta bayaran,
tapi layak mendapat penghormatan.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.