Breaking News

Tutur Kayu dari Kampung Toweren

Puisi Esai oleh L. K. Ara

Rumah Adat Gayo, Tepi Danau Laut Tawar

1. Di Dinding Rumah, Ikan Itu Menatap Diam

Di kampung Toweren, di kaki bukit dan tepi danau,
rumah-rumah berdiri seperti doa kayu
yang tak pernah selesai dipanjatkan.
Pada palang dinding yang disikat waktu,
seekor ikan mengapung dalam ukiran,
diam tapi bicara:
tentang danau yang tidak hanya air,
tapi juga hati.

Kayu itu tidak dilukis dengan cat,
melainkan dengan niat.
Setiap pahatan adalah satu nasihat
yang diwariskan dari petua
kepada tangan muda tukang ukir:

“Jika engkau ingin rumahmu makmur,
ukirlah alam ke dalam dindingnya.”

2. Ikan Itu Bukan Sekadar Ikan

Ikan itu tak berenang dalam air,
tapi dalam sejarah dan adat.
Ia membawa jejak rezeki dari dasar danau,
tempat di mana nenek moyang
pernah menebar jala dan syukur.

Ia bukan simbol hiasan,
tetapi lambang kehidupan yang jernih,
yang hanya datang
bila manusia hidup bersih.

Gelombang di sekelilingnya
bukan hanya air,
tetapi arus hidup:
naik dan turun,
tapi tetap menyatu.

3. Rumah Bukan Sekadar Tempat Tinggal

Ukiran itu berkata:

“Rumah adalah kitab yang dibaca anak-anakmu.”

Di sinilah adat memahatkan dirinya,
bukan di kertas,
tapi di papan dan balok-balok kayu.
Di setiap sudutnya,
nilai dititipkan tanpa suara.

Seorang ibu menjahit tikar pandan
di teras rumah yang menghadap danau,
seorang ayah mengajari anak lelakinya
menakar angin dan menghitung arah matahari.

Di dinding itu,
ikan mengingatkan mereka:
air harus dijaga,
rezeki harus disyukuri,
hidup harus berpaut pada akar.

4. Pesan yang Tak Lapuk

Mungkin suatu hari nanti,
ikan itu akan lapuk dimakan hujan,
tapi maknanya akan terus mengalir
dalam darah orang Toweren,
dalam jala yang dilempar ke pagi,
dalam perahu yang menepi di senja.

“Hidup adalah danau.
Jangan kau keruhkan dengan tamak dan dusta.”

5. Didong: Suara yang Turun dari Bukit dan Datang dari Timur

Di malam yang sunyi, suara lain bangkit dari tanah:
Didong—gema dari leluhur yang tak menua.
Irama gendang dan denting suara
membawa kita pada malam-malam
di mana kampung menjadi panggung,
dan kata menjadi mantra.

Di antara para ceh, satu nama berdiri tegak:
Ceh Sahak, dari Klop Teruna Jaya,
yang dendangannya tidak hanya dari Gayo,
tapi juga dari gurun dan padang Arab—
melodi yang bergetar seperti doa,
irama yang melengkung seperti ayat.

“Adat dan agama bukan dua jalan berbeda,
tapi satu jalan yang panjang, dibentang suara.”

Didong bukan hiburan—
ia adalah madrasah suara,
tempat adat diajarkan lewat syair,
dan petuah disampaikan dengan irama yang menggetarkan kalbu.

Ceh Sahak telah menyulam danau ke dalam nada,
dan mengirimnya ke langit-langit rumah adat,
agar setiap anak tahu:
di Toweren, adat tak hanya dipahat—
tetapi juga didendangkan.

📌 Catatan Kaki:
Ukiran ikan dan irama Didong sama-sama hidup di Kampung Toweren, tepi Danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Ceh Sahak dari Klop Teruna Jaya dikenang sebagai maestro yang memperkaya Didong dengan nuansa Arab. Dalam tradisi Gayo, suara dan kayu saling bersahut—satu membentuk dinding, satu membentuk jiwa.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca