Puisi Esai oleh LK Ara untuk 90 Tahun Taufiq Ismail
Di usia 90, Taufiq tak berjalan lambat,
ia hanya melangkah dalam kalimat.
Setiap baitnya adalah peluru hening,
menembus waktu dan mengoreksi nurani.
Ia tak sekadar penyair,
tapi penjaga menara suara,
yang berdiri di antara luka dan makna.
“Jangankan kau bilang kata merdeka,
jika kau lupa suara petani yang ditindas,_
atau tangis ibu di pinggir sawah,_
karena puisi bukan hanya indah,_
tapi juga marah.”_
Kini Plasa Insan Berprestasi menjadi altar,
bagi suara yang tak pernah tunduk.
Ia disambut bukan karena usia,
melainkan karena usianya menjelma cahaya.
Ia pernah membaca puisi
di hadapan penguasa.
Dengan suara gemetar,
namun lebih tajam dari sorak tentara.
“Aku penyair,
bukan pemandu wisata istana._
Puisiku bukan bunga meja,_
ia adalah cermin yang pecah_
bila kekuasaan memandangnya.”_
Dalam negeri yang kerap gamang,
ia tak lelah menjaga satu hal:
nurani.
⸻
📜 Syair Penutup – Satu Suara Tak Pernah Pensiun
Satu suara tak bisa dibungkam,
meski dunia berisik oleh kebohongan.
Satu puisi bisa jadi pelita,
meski gelap mengelilinginya.
Taufiq adalah suar,
di laut sastra yang luas,
memanggil kapal-kapal muda,
agar tak karam karena amnesia.
Pena yang tak pernah pensiun,
adalah sejarah yang hidup dalam diam,
dan usia 90 bukan angka renta,
melainkan angka yang berani berkata.
⸻
📌 CATATAN KAKI
- Taufiq Ismail (lahir 1935) adalah penyair Indonesia dari Angkatan ‘66, pelopor sastra sosial-politik, pendiri majalah Horison, dan penulis puisi-puisi perlawanan yang membela kemanusiaan dan kejujuran.
- Puisinya seperti “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” atau “Tirani dan Benteng” bukan sekadar sastra, tapi saksi sejarah.
- Acara Tasyakuran dan Peluncuran Buku 90 Tahun Taufiq Ismail diselenggarakan pada Rabu, 25 Juni 2025, pukul 10.00 WIB di Plasa Insan Berprestasi, Gedung A Kemendikdasmen RI, Jakarta.
- Taufiq bukan hanya milik dunia sastra, tapi juga milik nurani bangsa.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.