KenNews.id | Kabri Wali lahir dari kabut yang turun di dataran tinggi,
dari pucuk cemara yang menyimpan rahasia angin,
dari malam-malam ketika Didong bukan sekadar suara,
melainkan cahaya yang menyala di dada orang kampung.
Ia tumbuh dalam rumah yang sederhana,
tetapi penuh cerita yang tak pernah padam.
Bait-bait tua menetes di telinganya
seperti air murni dari pegunungan Gayo.
Ia belajar menjadi ceh bukan dari buku,
melainkan dari tatap bulan, derap gegedem,
dan percakapan panjang orang-orang tua
yang selalu menyelipkan hikmah dalam senyum.
Tetapi darah seninya tidak berhenti di Didong.
Ia memegang alat musik seperti memegang nadi sendiri,
dan nada-nada mengalir dari tangannya
seperti sungai yang mencari jalan pulang.
Lalu film datang seperti jendela baru,
dan Kabri Wali masuk ke dalamnya
dengan wajah kampung yang jujur,
dengan bahasa tubuh yang lahir dari tanah sendiri.
Ia tak pernah mengejar panggung,
justru panggung yang mendatanginya.
Ia tidak mencari nama,
namanya yang mencari tempat di hati orang banyak.
Kabri Wali adalah penjaga ingatan Gayo,
penyambung suara yang hampir hilang,
penyimpan kisah yang tak sempat dituliskan,
dan pewaris cahaya dari leluhur lama.
Kini ia menjadi riwayat,
tetapi riwayat yang terus bernafas,
dikenang dalam irama, kata, dan langkah
anak-anak Gayo yang mencintai tanahnya.
⸻
SYAIR KENANGAN KABRI WALI
1. Dari gunung cemara angin turun membawa kabar lama,
2. Nama Kabri Wali terulang dalam bisik hutan pagi.
3. Dataran Gayo memanggil-manggil jejaknya,
4. Seperti ibu memanggil anak yang lama pergi.
5. Ia datang dengan suara lembut,
6. Seperti doa yang tak pernah dipaksa.
7. Kata-katanya mengalir jernih,
8. Menyentuh dinding hati tanpa mengetuk.
9. Di malam Didong, ia duduk tegak,
10. Mata menatap cahaya petromaks yang redup.
11. Irama gegedem memanggil namanya,
12. Dan ia menjawab dengan senyum yang dalam.
13. Orang berkata: “Ia bukan sekadar ceh,”
14. Sebab di dadanya tinggal seribu cerita.
15. Bait-bait tua menempel pada ingatannya,
16. Seperti embun pada daun kopi.
17. Ia hafal nama kampung dan sungai,
18. Juga jejak langkah leluhur yang memahat waktu.
19. Ia tak menyombongkan ingatan itu,
20. Ia hanya menyimpannya untuk generasi berikutnya.
21. Ketika musik datang memanggil,
22. Tangannya menari lebih cepat dari kata.
23. Nada melebur dengan napasnya,
24. Seolah alat musik itu bagian tubuhnya.
25. Ia mengenal kesederhanaan sebagai kekuatan,
26. Dan kejujuran sebagai jalan seni.
27. Dari nadanya orang mengenali pagi,
28. Dari suaranya orang mengenali kampung sendiri.
29. Lalu film mengundang langkahnya,
30. Dan ia masuk tanpa keraguan.
31. Wajahnya yang tenang menjadi bahasa lain,
32. Menghidupkan tokoh-tokoh yang nyaris tanpa suara.
33. Ia tampil apa adanya,
34. Tidak dibuat-buat, tidak dilebihkan.
35. Justru kesederhanaan itu yang membuatnya terang,
36. Seperti bulan separuh di langit Tenangon.
37. Orang-orang berkata:
38. “Kabri Wali adalah cermin yang jujur.”
39. Sebab dari matanya orang melihat Gayo,
40. Dari geraknya orang melihat masa kecil sendiri.
41. Ia berjalan pelan-pelan,
42. Mengumpulkan kisah dari kampung ke kampung.
43. Setiap kisah disimpannya baik-baik,
44. Seperti petani menyimpan benih paling berharga.
45. Bila ia berdidong,
46. Suaranya mengalir dari dalam bumi.
47. Seperti suara leluhur yang kembali,
48. Memanggil anak cucu agar tidak lupa asal.
49. Banyak ceh datang dan pergi,
50. Tetapi jejak Kabri Wali tetap bertahan.
51. Sebab ia bukan hanya pelaku,
52. Ia adalah penjaga makna.
53. Dalam musik ia tertawa,
54. Dalam film ia menyimak,
55. Dalam Didong ia kembali menjadi diri sendiri,
56. Lahir dari tanah, tumbuh dari jiwa.
57. Ia tidak mengejar panggung besar,
58. Sebab panggung kecil pun baginya surga.
59. Selama ada masyarakat yang mendengar,
60. Ia merasa cukup.
61. Malam-malam panjang mengukir hidupnya,
62. Dari suara ke suara, dari hati ke hati.
63. Sampai kini gema itu masih bertahan,
64. Duduk di antara kabut dan kopi panas.
65. Orang mengenangnya bukan karena ketenaran,
66. Tetapi karena kebaikan yang ditinggalkannya.
67. Ia hadir sebagai sahabat bagi banyak orang,
68. Dan sebagai guru bagi yang mencintai seni.
69. Di tengah jagad seni Gayo,
70. Namanya melayang seperti burung Enggang.
71. Tidak cepat, tidak gaduh,
72. Tetapi anggun dan pasti.
73. Ketika ia memainkan perannya di film,
74. Orang melihat ketulusan terpancar.
75. Ia tidak bermain sebagai aktor,
76. Ia hanya menjadi Kabri Wali apa adanya.
77. Dalam musik, tangan kirinya menyimpan rindu,
78. Tangan kanannya menyimpan harapan.
79. Dari nada-nada itulah
80. Orang tahu ia seniman sejati.
81. Di Didong ia kembali menjadi cahaya,
82. Di film ia menjadi kisah,
83. Dalam musik ia menjadi alunan,
84. Dalam ingatan kita ia menjadi riwayat.
85. Banyak yang bertanya:
86. Dari mana datangnya ketenangan itu?
87. Mungkin dari tanah Gayo yang lembut,
88. Atau dari hati yang tidak banyak menuntut.
89. Kini namanya dijaga angin,
90. Diulang-ulang bukit, diteruskan sungai.
91. Orang kampung menyebutnya dengan hormat,
92. Seperti menyebut penjaga suara masa lalu.
93. Syair ini berdiri untuknya,
94. Sebagai bunga yang tumbuh di tanah kenangan.
95. Setiap bait adalah langkah hidupnya,
96. Setiap kata adalah cahaya yang ia tinggalkan.
97. Bila kelak anak-anak bertanya,
98. “Siapa Kabri Wali?”
99. Kita jawab:
100. “Ia adalah seniman yang menjaga jiwa Gayo agar tetap hidup.”











