Breaking News
OPINI  

Tradisi Pacu Kuda Gayo Saat Ini, Semangat Pesta Rakyat yang Mulai Hilang?

Pacuan kuda tradisional Gayo, Takengon. Foto: Mustawalad

Oleh: Diky Mahrezeki

Jika bercerita tentang Pacuan Kuda Tradisional Gayo, agaknya memang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Gayo yang mendominasi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues Provinsi Aceh.

Bagaimana tidak, perayaan ini dirawat semenjak dari dulu sampai sekarang ini disetiap tahunnya, dipercaya menurut cerita masyarakat turun-temurun, event ini dilaksanakan bahkan sebelum Belanda melakukan invansi ke negeri Gayo.

Bermula dari saat proses panen disawah selesai, yang masyarakat Gayo menyebut “Tengah Lues Belang” masyarakat membawa kuda yang biasa digunakan untuk membajak sawah untuk dilombakan pada area sawah yang sudah siap di panen.

Semenjak itu, event pacuan kuda tersebut menjadi hal wajib dan ditunggu banyak masyarakat Gayo, cerita-cerita orang tua dalam menuturkan pengalamannya saat area pacuan kuda masih dilaksanakan di Lapangan Musara Alun Belang Kolak II selalu menjadi kisah menarik untuk didengar di era 80-90 an.

Terlebih mereka merasakan apa yang menjadi warna dalam kehidupan mudanya, mereka rela berjalan kaki dan penuh semangat untuk datang ke area tersebut, dengan kuda lokal yang tidak berpelana, joki muda tampa pengaman dan tak memiliki Boxstart menjadi cerita tersendiri bagi mereka kala itu.

Saat musim pacu telah tiba (biasanya pada Hut Kota Takengon dan Hari Kemerdekaan Indonesia), para keluarga menyiapkan bekal untuk dibawa ke lapangan pacu, ibu-ibu memasak makanan, pedagang membawa hasil alamnya untuk dijual, pemilik kuda menyiapkan kudanya untuk dipacu dan muda-mudi mengumpulkan uang untuk dapat bertemu dengan pujaan hatinya.

Beralih ke ara 2000 an, saat Pemerintahan Daerah Kabupaten Aceh Tengah memindahkan lokasi pacuan kuda ke Lapangan Muhammad Hasan Gayo Belang Bebangka yang terletak di Kecamatan Pegasing dan memiliki area yang luas untuk dijadikan tempat pacuan.

Disana teknologi mulai menjarah ke tengah-tengah masyarakat, dan antusiasme masyarakat pun meningkat, pedagang luar juga mulai masuk memamerkan dagangan yang unik dan kuda pun telah di kembangkan sebagai mana spek kuda pacu.

Benar-benar pesta rakyat yang amat ditunggu, jalanan macet, semua bersorak ria membangun tenda-tenda tempat berteduh, tak ada yang sedih semua larut dalam kebahagiaan.

Cerita berbeda agaknya memang dirasakan oleh para generasi selanjutnya, saat sistem komunikasi dan alternatif tranfortasi sudah mumpuni, area pacuan yang sudah dibangun mengikuti standar nasional, dan aturan yang sudah mumpuni mengikuti dunia pacuan kuda secara Nasional.

Masyarakat pun tidak meninggalkan semangat nenek moyang mereka, mereka tetap datang, namun bagi para orang tua vibes yang mereka dapatkan tentunya berbeda, sudah jarang masyarakat datang dengan mobil pickup membawa nasi bungkus, seakan mereka melupakan resam (kebiasaan) musim pacuan kuda.