“Mereka datang, duduk di kursi yang telah disediakan, tersenyum ke kamera, lalu mengoceh soal “ekonomi lokal” seolah-olah baru menemukan obat mujarab. Padahal itu bukan kerja mereka. DPRK Aceh Tengah semakin kelihatan: wakil rakyat yang lupa fungsi, pandai tepuk tangan di festival, tapi bebal”
Sabtu, 23 Agustus 2025, Danau Lut Tawar penuh dengan riuh tepukan tangan. Air danau bergetar, bukan karena naga sungguhan, tapi oleh perahu naga yang berpacu, membawa warna-warni pesta. Kamera berputar, wartawan menyorot, penonton bersorak. Dan di kursi yang telah disediakan, siapa yang duduk paling depan? Anggota DPRK Aceh Tengah.
Dengan baju rapi, wajah sumringah, mereka menyalami panitia, melambai ke warga, dan tentu saja ikut menyusun kalimat indah untuk diberitakan. Seorang anggota DPRK dengan percaya diri menyebut, “Kegiatan ini dapat meningkatkan ekonomi lokal.” Anggota lain menimpali dengan gagah: “Acara seperti ini seharusnya rutin dilaksanakan setiap tahun.”
Ucapan itu terdengar manis, tapi basi. Omong kosong yang bisa diucapkan siapa pun. Tukang parkir di tepi danau pun bisa bilang begitu sambil mengatur kendaraan. Pedagang es buah pun tahu, acara ramai pasti bawa rezeki. Jadi, untuk apa DPRK dibayar mahal kalau hanya jadi komentator acara?
Padahal rakyat tidak mengutus mereka ke kursi dewan hanya untuk tepuk tangan di festival. DPRK seharusnya menjadi penggali masalah, pengurai benang kusut, dan pembuat aturan yang menyelamatkan. Tapi hari itu, mereka lebih mirip turis politik yang mencari panggung, bukan wakil rakyat yang menanggung.
Lihatlah persoalan nyata di depan mata: tanah reklamasi di tepi Lut Tawar makin semrawut. Bangunan tumbuh liar seperti jamur di musim hujan, menutup pandangan indah, mencabik ekosistem, dan menghisap napas danau yang jadi jantung Aceh Tengah. Warga mengeluh, tapi suara mereka seakan tenggelam. Harusnya DPRK turun tangan, buat qanun pembongkaran, atur pemanfaatan lahan, bukan sekadar berkata manis di acara lomba.
Dan lebih getir lagi, di Kampung Tanjung, Kecamatan Rusip Antara, gajah liar semakin sering masuk ke kebun. Kopi, kakao, pisang, semua habis dilindas. Petani tidak hanya kehilangan hasil, tapi juga ketakutan. Malam mereka penuh cemas, siang penuh was-was. Konflik manusia dengan gajah ini bukan hal baru, tapi makin parah. Apa DPRK hadir di sana? Tidak. Apa mereka bikin aturan mitigasi? Tidak. Apa mereka dorong anggaran darurat? Tidak. Mereka malah hadir di lomba perahu, bicara soal “ekonomi lokal.” Ironis.
Seorang warga di Tanjung bahkan bergumam, “Kami tidak butuh dewan hadir di pinggir danau. Kami butuh dewan hadir di kampung kami. Bantu kami yang setiap malam berjaga-jaga dari serangan gajah.” Kata-kata sederhana itu menghantam lebih keras daripada ribuan tepuk tangan di festival.
Inilah masalahnya: DPRK Aceh Tengah sering salah panggung. Mereka suka datang di acara seremonial, jadi pembicara manis di forum publik, tapi kaku dan malas ketika harus masuk ke inti tugas: legislasi, anggaran, pengawasan. Mereka lebih cekatan mencari kamera daripada mencari solusi. Lebih cepat hadir di undangan pejabat daripada hadir di tengah masyarakat yang menjerit.
Lalu, pantaskah rakyat masih percaya pada dewan yang hanya pandai mengulang jargon murahan? Pantaskah mereka disebut wakil, kalau fungsi wakil hanya jadi “penonton kehormatan” di lomba perahu?
DPRK Aceh Tengah harusnya malu. Wakil rakyat bukan sekadar pengunjung pesta rakyat. Wakil rakyat bukan juru tepuk tangan. Wakil rakyat harus berani membongkar bangunan ilegal di reklamasi, meski itu menyakitkan segelintir orang berduit. Wakil rakyat harus berani melawan konflik gajah dengan solusi nyata, meski itu rumit dan panjang.
Kalau tidak, lebih baik mereka jujur saja: berhenti berpura-pura jadi wakil rakyat. Karena rakyat butuh dewan yang bekerja, bukan dewan yang bersandiwara.
Hari ini, di tepi Lut Tawar, yang terlihat hanyalah wajah DPRK yang lebih senang ikut pesta, daripada berani menanggung luka rakyatnya sendiri.