Masyarakat Aceh Tengah kini berada di persimpangan memalukan: keberanian untuk mengatakan yang buruk telah terkubur di bawah timbunan rasa takut dan alasan adat. Kejahatan yang nyata—bahkan yang menusuk nurani, seperti pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak—sering kali tidak diungkapkan, hanya karena dianggap Sumang (Sumbang) atau memalukan kampung. Ironisnya, justru diam inilah yang menjadi pupuk subur bagi tumbuhnya kejahatan.
Di banyak kampung, suara protes dibungkam bukan karena fakta tidak ada, tetapi karena pelaku memiliki kuasa—baik kuasa politik, ekonomi, maupun kuasa simbolik sebagai “tokoh masyarakat” atau “orang yang paham adat”. Mereka memutarbalikkan makna adat, menjadikannya tameng untuk menutup aib, padahal dalam hukum adat yang benar, melindungi korban dan menegakkan keadilan adalah kewajiban, bukan pilihan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sumbang berarti melanggar adat, kebiasaan, atau norma kesopanan. Namun dalam bahasa Gayo, sumang memiliki makna yang lebih dalam: ia adalah aturan adat atau norma yang mengatur perilaku masyarakat, terutama dalam hal kesopanan dan tata krama. Sumang mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti cara berbicara, berjalan, duduk, dan bahkan cara memandang orang lain. Dengan kata lain, sumang adalah pilar keluhuran budi, bukan alat untuk membungkam kebenaran.
Sayangnya, di tangan para penjaga moral palsu, makna luhur ini dibelokkan menjadi “jangan bicara, jangan ribut, jangan bongkar”. Akibatnya, yang sumbang bukan lagi pelaku kejahatan, melainkan korban dan orang yang berani bersuara.
Dalam proses hukum modern, setiap kejahatan, apalagi yang menyasar perempuan dan anak, wajib dilaporkan dan diusut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak tidak mengenal istilah “diam demi adat”. Diam justru dapat dikategorikan sebagai pembiaran—dan pembiaran terhadap kejahatan adalah bentuk keterlibatan tidak langsung.
Masyarakat Aceh Tengah harus sadar: adat yang benar tidak pernah memihak pelaku. Adat yang benar memulihkan korban, menghukum pelaku, dan menjaga martabat kampung melalui kejujuran, bukan melalui penguburan fakta. Setiap kali kita diam dengan alasan takut sumang, kita bukan hanya melindungi pelaku, tetapi juga mengundang kejahatan berikutnya.
Saatnya berhenti bersembunyi di balik adat yang dipelintir. Karena yang sejatinya sumbang bukanlah mengungkapkan kebenaran, melainkan menutup-nutupinya.