Breaking News

Bukan Fraud, Hanya Salah Ketik? Di Balik Temuan Rp 800 Juta di RS Muyang Kute

Ilustrasi Fraud. Foto: Net


Ketika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyampaikan temuan dugaan fraud sebesar Rp 800 juta di RSUD Muyang Kute Bener Meriah, publik layak bertanya: Ada apa sebenarnya di balik tumpukan berkas klaim itu? Temuan itu bukan berasal dari opini semata. Audit resmi dilakukan. Data dikumpulkan. Fakta diperiksa. Lalu muncullah angka yang tak main-main: Delapan ratus juta rupiah. Namun, yang justru membuat alis publik terangkat bukan hanya jumlahnya—melainkan respons manajemen rumah sakit.

Direktur RSUD Muyang Kute, dr. Sri Tabahhati, dengan cepat memberikan klarifikasi: “Itu bukan fraud, hanya kesalahan administrasi.” Sebuah kalimat yang terdengar ringan untuk sebuah temuan yang begitu berat. Frasa “kesalahan administrasi” menjadi tameng, menjadi mantra untuk menetralisir dampak hukum dan sosial dari dugaan penipuan sistemik terhadap negara.

Mari kita perjelas dulu definisinya. Menurut Permenkes No. 36 Tahun 2015 dan juga Peraturan BPJS Kesehatan, fraud dalam pelayanan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah tindakan curang yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari program JKN, baik oleh fasilitas kesehatan, tenaga medis, maupun peserta. Kalau dokumen klaim dimanipulasi, pasien fiktif dimasukkan, atau tindakan medis dibuat-buat demi meraup uang negara—itu disebut fraud. Bukan sekadar “salah tulis”.

Apakah RS Muyang Kute melakukan itu? Hanya penyidikan yang bisa menjawabnya secara hukum. Namun, fakta bahwa BPJS sampai menyatakan dugaan fraud menunjukkan adanya indikasi kuat. Terlebih, informasi awal justru muncul dari sumber internal rumah sakit itu sendiri—orang dalam yang barangkali sudah lama muak dengan praktik gelap di balik meja administrasi.

Yang lebih mengkhawatirkan: dugaan fraud ini terjadi hanya di satu poliklinik saja—yakni poliklinik jiwa. Jika di satu titik saja bisa muncul angka sebesar itu, bagaimana dengan poli lain? Bagaimana jika ini hanyalah puncak gunung es dari pola lama yang dibiarkan hidup?

Manajemen RS terlihat lebih sibuk mencari istilah yang lebih “ramah telinga” ketimbang membongkar akar persoalan. Sikap ini mencerminkan kecenderungan klasik birokrasi: lebih takut malu daripada jujur. Bukan fraud, katanya. Tapi publik bukan lagi penonton pasif yang bisa dikelabui jargon teknis.

Apakah publik harus menunggu tindakan dari aparat hukum baru bisa menyebutnya “penipuan”? Tidak. Publik berhak curiga. Berhak menuntut transparansi. Dan berhak tahu siapa yang menikmati Rp 800 juta itu, jika benar-benar itu hasil rekayasa sistem klaim.

Ini bukan hanya soal uang. Ini soal integritas sistem layanan kesehatan yang dibiayai oleh uang rakyat. Kalau dugaan fraud seperti ini bisa ditutup hanya dengan kalimat “salah administrasi,” maka pesan yang sampai ke rumah sakit lain sangat jelas: Silakan menipu, asal nanti tinggal bilang ‘khilaf’.

Editorial ini bukan untuk menghakimi. Tapi untuk mengingatkan: transparansi adalah obat, dan penegakan hukum adalah vaksinnya. Jika tidak, penyakit ini akan menyebar, membusuk dalam diam—dan yang menjadi korban adalah kita semua.


Redaksi menunggu langkah tegas dari aparat hukum, DPRK, dan juga BPJS sendiri. Apakah kasus ini akan dibiarkan menguap dengan istilah “bukan fraud”—atau menjadi titik balik untuk membersihkan pelayanan kesehatan dari virus ketidakjujuran?


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca