Breaking News

Cahaya Ibu Restu, Gema yang Menghidupkan

Puisi Esai untuk Ibu Restu oleh LK Ara

  1. Dari Hutan Rimba ke Jantung Negeri

Di tanah tinggi Gayo,
suara didong dahulu terdengar lirih,
tersembunyi di balik kabut pinus dan cemara.
Tari Guel menari di ladang-ladang kopi
dan hanya segelintir anak cucu
yang masih menyimak makna setiap gerak dan syair.

Di antara akar yang nyaris tercabut,
datanglah Ibu Restu dengan mata bening dan hati yang terbuka—
bukan sekadar menyaksikan,
tapi mengangkat kami dari sunyi.

Bukan jalan mudah,
menggenggam budaya yang nyaris terlepas,
lalu membawanya menyeberang waktu,
menuju lampu-lampu ibukota
di mana deru kendaraan menelan suara nenek moyang
dan layar digital lupa pada hikmah syair purba.

Namun Ibu datang
seperti cahaya pagi yang tidak tergesa
membangunkan kami pelan-pelan
dari tidur panjang di rimba yang sepi.

Didong kami kini bersuara kembali.
Tari Guel kami ditonton para menteri, budayawan, dan anak-anak sekolah.
Semua karena ketulusan Ibu yang tak pernah menuntut pamrih,
yang berjalan dalam senyap,
namun meninggalkan jejak terang.

Kebaikanmu, Ibu,
bagaimana mungkin kami membalasnya?
Tak ada emas, tak ada puisi pun
yang cukup sepadan untukmu.

Maka kami kembalikan rasa terima kasih ini
kepada Tuhan Yang Maha Menyaksikan.
Semoga setiap langkah Ibu dibalas-Nya
dengan pahala yang berlipat ganda.
Semoga setiap gerak tari dan lantunan syair
menjadi saksi bahwa Ibu telah menanam
sebuah pohon harapan di tanah leluhur kami.

Hari ini dan selamanya,
kami menyebut namamu dalam syukur,
Ibu Restu,
yang telah membuka jalan
bagi budaya kami
untuk hidup kembali
di tengah negeri ini.

  1. Warisan yang Menari di Tangan Kecil

📷 Dua maestro berdiri menghadap seorang anak kecil yang ikut menari. Latar: para musisi, gong, dan rebana.

Di tengah panggung yang hangat cahaya,
dua sosok renta membungkuk rendah—
bukan karena letih,
melainkan hormat kepada masa depan
yang masih belajar berdiri.

Di antara mereka,
seorang anak kecil berpakaian sederhana
menegakkan tangan, menekuk siku,
dan menggoyangkan jemari seperti burung Gayo
yang baru saja belajar terbang.

Gerak Guel itu dimulai:
Langkah ke kiri, perlahan,
lalu ke kanan dengan irama tepukan.
Kepala menunduk sejenak,
seolah mencium bumi sebelum melangkah,
dan tangan menyilang di dada
sebagai salam kepada leluhur.

Mereka mengajarkan
bukan hanya bagaimana menari,
tetapi bagaimana menjaga akar
tanpa kehilangan sayap.

Latar panggung: gong bersandar diam,
rebana ditabuh dengan semangat lembut,
dan di belakangnya—mata-mata yang menyimak,
seperti pohon-pohon tua
yang bangga pada tunasnya yang mungil.

Hari ini, Guel bukan hanya ditarikan,
tapi diwariskan
lewat peluh, tawa kecil, dan tepuk yang sakral.

Kami menyaksikan—
sebuah warisan yang bergerak dari tangan hangat para tetua
ke jemari kecil yang mulai peka pada denyut budaya.

📍Dari Gayo untuk Indonesia.
📢 Kami persembahkan untuk Ibu Restu, para maestro Didong dan Tari Guel, serta generasi baru yang akan melanjutkan langkah.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca