Ziarah ke Makam Ceh Ishak Ali

Puisi Esai Oleh LK Ara

Di lereng yang hening,
di antara angin dan akar perdu,
kami duduk bersila di makam yang dirawat bunga dan doa.
Inilah pusara Ceh Ishak Ali,
legenda dari Bener Kalifah,
yang nada hidupnya pernah memanggil ribuan jiwa
untuk mengerti irama kampung sendiri.

Dulu ia remaja lugu di Toweren,
membangun klop Teruna Jaya di tepian Laut Tawar.
Angin danau menjadi saksi,
sulingnya menyelinap ke sela-sela kabut,
menyusup ke tulang pendengar dan menyalakan semangat,
mengajak bergoyang dengan lembut,
tapi juga menggugah dengan hikmah.

Lagunya bernuansa Arab,
seperti kenangan jauh dari Syam atau Hijaz
yang tiba-tiba tumbuh di rimba Gayo.
Suaranya menyatu dengan getar daun dan desir rerumputan,
seolah bahasa semesta bisa dituturkan
melalui didong yang mendidik,
bukan sekadar hiburan.

Kini, kami datang—
para ceh, seniman, dan pelanjut jejak.
Di bawah langit yang teduh dan pohon-pohon setia,
kami membaca surah-surah rindu.
Tangan-tangan menangkup harapan,
agar napasmu, Ceh Ishak,
tak hilang di kabut zaman.

Kau bukan sekadar pemain suling atau penyair sahut-sahutan,
kau guru dalam diam,
yang mengajar lewat bunyi,
menyindir dengan lirik,
menyapa lewat irama.

Kami pulang dari makam ini
dengan suara yang lebih jernih,
dengan tekad yang lebih dalam.
Bahwa seni bukan hanya warisan,
tapi juga kewajiban.

⸻

Catatan kaki:
1. Ceh Ishak Ali adalah salah satu maestro didong legendaris dari Bener Kalifah, Bener Meriah.
2. Klop Teruna Jaya merupakan kelompok didong yang ia dirikan semasa tinggal di kampung Toweren.
3. Nuansa Arab dalam lagu-lagunya menandai keberagaman musikal dan pengaruh budaya Timur Tengah dalam tradisi Gayo.
4. Didong adalah seni tutur Gayo yang mencampurkan syair, irama, dan gerak tubuh secara estetik dan filosofis.