Breaking News

🌿 Tepuk Irama, Suara Jiwa: Musik dalam Didong Gayo

Foto kegiatan Didong

✍️ Puisi Esai oleh L. K. Ara

Di dataran tinggi yang disiram kabut,
malam-malam tak pernah benar-benar sunyi.
Ada lingkaran tubuh yang bertepuk tangan,
ada syair yang dilemparkan ke udara,
dan ada suara-suara yang menari di antara kopi, kemuning, dan kabar leluhur.
Itulah Didong — bukan sekadar hiburan,
tapi medan tafsir bagi jiwa yang ingin bicara dalam bahasa tanah.

  1. Tepuk Tangan: Musik dari Tubuh yang Bicara

Tak ada rebana. Tak ada gendang.
Hanya kedua telapak tangan yang bertemu,
menghasilkan irama yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Tepukan itu tak sembarang tepukan —
ia punya detak, jeda, dan niat.
Ia seperti detak jantung bersama,
mengatur napas ceh,
membangun semangat amar dan ani,
dan menjadi bingkai bagi kata yang menyala.

  1. Tiga Suara dalam Satu Lingkaran

Didong disuarakan oleh tiga kekuatan:
Ceh — sang pemimpin bait,
Amar — pengulang atau penguat nada,
Ani — pengiring yang menjahit harmoni.

Ketiganya menyatu dalam keseimbangan,
seperti mata air, batu, dan angin dalam satu danau.
Mereka tidak saling bersaing,
tapi saling melengkapi.

Perhatikan Ceh Moh Basyir Lakkiki,
legenda hidup dari Tanoh Gayo.
Saat bersyair, ia mendekatkan tangan kanan ke telinga,
jari telunjuknya bergerak — membuka dan menutup lubang pendengaran.
Bukan gaya,
tapi cara menyaring gema agar makna tak terdistorsi.
Dengan teknik itu, suara jadi doa,
dan bait jadi peristiwa.

  1. Irama Tradisi: Dari Jangin hingga Runcang

Irama Didong bukan hasil hitungan barat,
tapi hafalan tubuh dan rasa yang hidup.
Dimulai dari Jangin — irama tenang untuk pembuka,
membangun keharmonisan awal.
Lalu masuk ke Tuk — cepat dan padat,
penuh ledakan semangat,
sering digunakan saat kritik dilontarkan.

Ketika irama mulai bergeser,
muncul Sarik — transisi atau peralihan,
mengantar antara keras dan pelan,
antara sindiran dan cinta.

Jika suasana jadi hening,
masuklah Lungun — irama pelambat,
penuh perenungan dan kesedihan.
Dan akhirnya,
pertunjukan ditutup dengan Runcang —
irama ringan yang mengantar kata pulang ke bumi.

  1. Ekspresi Suara: Dari Tuk hingga Musarik

Didong adalah seni tubuh dan suara.
Suara yang tidak sekadar didengar,
tapi dialami.

Ada Tuk — teriakan pendek dan tajam,
seperti cambuk bagi pendengar.
Lalu Mutuk — bentuk lebih kuat,
suara yang mengguncang ruang dan menegaskan bait penting.
Jika luka masa lalu diangkat,
muncul Sarik — jeritan panjang yang memecah keheningan.
Dan jika emosi mencapai puncaknya,
ceh melepaskan Musarik —
jerit jiwa yang tak bisa dibendung,
jerit yang tidak bersuara di tenggorokan,
tapi bergema di dada-dada yang mengerti.

  1. Galeri Ceh Legendaris

Mereka tak menulis buku,
tapi suara mereka masih hidup dalam syair dan ingatan.

🌿 Ceh Moh Basyir Lakkiki
Suara yang jernih dan teknik unik:
telinga jadi ruang gema,
suara jadi cahaya yang dibimbing oleh tubuh.

🌿 Ceh Sali Gobal
Julukannya: Singa bersayap.
Syairnya tajam, suaranya lantang,
dan keberaniannya tak bisa dibungkam.

🌿 Ceh Daman
Sang pelontar tawa dan tanya.
Menyusupkan hikmah dalam gurauan,
dan menyelipkan kritik di balik senyum.

🌿 Ceh To’et
Lembut, tapi menusuk.
Syairnya seperti hujan kabut,
membasahi tanpa suara.

🌿 Ceh Sahak
Penjaga estetika syair.
Setiap barisnya seimbang,
setiap katanya memiliki berat rasa.

  1. Penutup: Didong adalah Nafas Tanah

Didong bukan hanya warisan.
Ia adalah roh yang menjelma suara.
Ia hidup di tepuk tangan,
di jerit ceh,
di kata yang diikat dengan jiwa.

Dan di tengah dunia yang semakin kehilangan makna,
Didong berdiri:
bukan sebagai pertunjukan,
tapi sebagai pengingat bahwa suara adalah bagian dari iman,
dan kata adalah bagian dari jalan pulang.

📌 Catatan Kaki:
1. Didong adalah seni tradisi Gayo yang menggabungkan syair, irama tepukan tangan, dan ekspresi vokal dalam bentuk lisan kolektif.
2. Ceh, amar, dan ani adalah tiga unsur vokal utama dalam satu pertunjukan.
3. Jangin, Tuk, Sarik, Lungun, Runcang adalah istilah irama tradisional dalam struktur pertunjukan Didong.
4. Tuk, Mutuk, Sarik, Musarik adalah istilah lokal untuk intensitas ekspresi vokal dari teriakan pendek hingga jerit emosional.
5. Para ceh legendaris seperti Ceh Moh Basyir Lakkiki, Ceh Sali Gobal, Ceh Daman, Ceh To’et, dan Ceh Sahak adalah penjaga dan penutur jiwa Tanoh Gayo melalui suara dan syair.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca