Breaking News

Didong Terakhir dari Kala Laut

Puisi Esai oleh L K Ara

Di Kampung Kebayakan, di lereng yang sepi
dan angin yang selalu menyimpan cerita,
aku kembali menziarahi pusara Ceh Mustafa AK.
Bersama putranya, kami meniti sunyi
menuju tanah yang tidak sekadar tempat peristirahatan—
melainkan altar kenangan bagi seorang penyair Gayo
yang mengubah kesedihan menjadi syair,
dan menjahit rindu dengan suara yang menggetarkan semesta.

“Ia bukan hanya ceh,”
kata seorang tua di Kala Laut,
“ia dalang suara hati kami—
yang menjadikan Ues sebagai zikir,
Kutalu-talu sebagai panggilan jiwa,
dan Daling sebagai doa kepada kekasih yang tak sempat dipeluk.”

Aku pernah duduk bersisian dengannya,
jadi juri dalam laga didong yang penuh getar.
Ia mendengarkan syair seperti membaca Kitab yang turun di malam gelap.
Tak cepat bertepuk tangan,
tapi sekali ia mengangguk,
seperti Gayo diberkahi embun dari langit.

Dan aku tak akan lupa:
aku pernah mengantar seorang gadis muda—
Ine Hidayah, namanya—ke rumah kayu beliau.
Ia bukan mencari teknik,
melainkan ingin tahu mengapa lagu Ceh Mustafa
selalu terdengar seperti seseorang yang ditinggal,
lalu tetap mendoakan yang meninggalkan.

“Biarkan dia tinggal,” kata Ceh Mustafa pelan.
“Karena didong bukan pelajaran,
melainkan jalan pulang yang tidak semua orang temukan.”

Hari-hari mereka dipenuhi sunyi dan latihan yang bukan latihan.
Mereka menyusun syair dari suara angin,
mengukur panjang rindu dari jatuhnya daun kopi,
dan menyulam kesedihan menjadi nada.
Ine menangis mendengar Ues,
tersentak oleh Kutalu-talu,
dan hening saat Daling dibacakan:
lagu tentang kekasih yang berpulang
sebelum sempat diminta maaf.

Kini, Ceh Mustafa telah tiada.
Tapi suaranya tak pernah mati.
Ia hidup di suara Ine Hidayah,
yang kini dikenal sebagai maestro sebuku:
seni meratap dari rahim sunyi Gayo,
yang tak meminta belas kasihan,
hanya pengertian.

“Arahkan mereka ke mata air,” katanya suatu malam dalam mimpi.
“Ajarkan mereka diam sebelum bersyair.
Karena dari diam itulah Tuhan menanam suara.”

Dan aku, yang pernah jadi saksi nyanyian dan perpisahan,
menuliskan ini bukan untuk abadi,
tapi agar tak semua nyanyian tenggelam bersama danau.
Agar Daling tetap berdetak,
Kutalu-talu tetap memanggil,
dan Ues—ya, Ues—tetap mengalir
dari luka yang paling dalam
menuju cinta yang paling tabah.

📌 Catatan Kaki
1. Ceh Mustafa AK (Klop Kala Laut, Kampung Kebayakan) adalah maestro didong dengan warna syair yang mendalam, melankolis, dan puitis.
2. Lagu-lagu terkenalnya:
• Ues – lagu penuh kesedihan tentang kehilangan dan kerinduan,
• Kutalu-talu – lagu panggilan jiwa dan harapan,
• Daling – syair cinta kepada kekasih yang telah pergi.
3. Ine Hidayah, penyanyi muda yang dulu berguru pada Ceh Mustafa AK, kini dikenal sebagai maestro sebuku, seni ratapan khas Gayo yang lahir dari pengalaman spiritual dan luka batin.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca