Breaking News

🌿 Didong dan Tari Guel: Menjaga Ruh, Menjaga Amanah Ilahi

✍️ Oleh L. K. Ara

  1. Di Dataran Tinggi, Ruh Hampir Padam

Di bawah langit yang berselimut kabut,
duduklah orang-orang tua di bale,
dengan zikir lirih di bibir,
dan ingatan yang menyimpan suara leluhur:
irama Didong, derap Guel,
bait-bait syair yang dahulu bukan sekadar hiburan—
melainkan doa yang menari,
dan tasbih yang dilantunkan oleh tubuh.

Kini gema itu nyaris hilang,
bagai adzan yang tak lagi dijawab,
tari yang dahulu mengguncang bumi
kini hanya tinggal jejak
di lantai-lantai rumah yang nyaris lapuk.

Apakah kita akan membiarkan
ruh kebudayaan itu padam
tanpa satu pun sujud
untuk menghidupkannya kembali?

  1. Didong: Kalam Leluhur yang Bertasbih

Didong bukan sekadar nyanyian—
ia adalah tafsir kehidupan,
dibaca dalam nada,
dilagukan dalam ritme yang memuliakan penciptaan.

Ceh Didong adalah penyair dan imam,
menabuh kalimat seperti gendang,
menjahit hikmah di antara syair.
Di malam yang panjang,
mereka menyalakan pelita kata
agar ruh kampung tak diliputi gelap zaman.

Di tubuh Didong,
ada Al-Qur’an yang diterjemahkan dalam adat,
ada cinta yang bersujud kepada Yang Maha Esa,
dalam bentuk puisi yang tak tertulis
tapi menetap dalam dada.

  1. Tari Guel: Gerak yang Menyebut Nama Tuhan

Guel bukan sekadar tarian—
ia adalah shalat dalam gerak,
zikir yang menjelma tubuh,
doa yang menari dalam diam.

Setiap ayunan tangan membawa wasiat Reje Linge,
setiap lenggok kepala menyampaikan sabda leluhur
yang tak pernah lepas dari keagungan Ilahi.

Guel adalah kesaksian:
bahwa tubuh pun bisa bersujud,
bahwa seni bisa menjadi ibadah
jika diniatkan sebagai penjaga amanah.

  1. Yang Terbenam, Kini Dihidupkan Kembali

Namun tak semua yang tenggelam
ditelan selamanya oleh laut.
Kini tangan-tangan muda,
dengan hati yang rindu,
menyelam ke kedalaman tradisi
dan menemukan mutiara warisan.

Mereka dengar kembali suara Ceh didong
mereka pelajari jejak-jejak suci
yang dahulu diajarkan Reje kepada rakyatnya—
bukan untuk kesombongan,
melainkan agar tak putus tali amanah
antara bumi, langit, dan anak cucu.

Studio bukan hanya tempat hiburan,
tetapi mihrab budaya tempat Didong berdzikir,
dan Guel menghidupkan sabda tubuh.

  1. Ruh Tak Boleh Dibiarkan Tanpa Tubuh

Didong dan Guel bukan sisa masa lalu,
mereka adalah ruh yang dititipkan
oleh para leluhur
untuk dijaga dalam tubuh-tubuh generasi mendatang.

Mereka harus hidup:
di sekolah, di surau, di panggung, di upacara,
di mulut anak-anak,
di hati para pemimpin.

Karena jika ruh itu dibiarkan mati,
yang hilang bukan sekadar seni—
tapi seluruh jembatan
yang menghubungkan manusia
kepada Tuhan.

📌 Catatan Kaki Religius:
1. Didong adalah seni puisi lisan masyarakat Gayo, yang awalnya juga mengandung nilai-nilai spiritual dan dakwah lokal melalui syair dan irama.
2. Tari Guel sebagai bagian dari upacara adat, diyakini menyambut kehadiran ruh baik dan menjaga keselarasan antara dunia lahir dan batin.
3. Ceh Didong sering dipandang bukan hanya seniman, tapi juga penjaga moral, pewaris hikmah, dan pembawa pesan kebaikan.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca