Puisi Esai oleh L. K. Ara
⸻
- Di Ambang Pintu Hidup Baru
Ada tarian yang bukan sekadar hiburan,
melainkan bekal sebelum memasuki kehidupan.
Seorang bujang bersiap menjadi suami,
dan seorang dara belajar menjadi isteri—
keduanya melangkah dari dunia remaja
menuju gerbang kedewasaan.
Namanya: Beguru.
Ia bukan pertunjukan untuk disoraki,
melainkan pelajaran kilat dari petua adat,
agar langkah pertama menuju rumah tangga
tidak limbung oleh keluguan dan ketidaktahuan.
Dalam satu malam, kadang dua,
mereka belajar bukan hanya bagaimana melangkah,
tetapi mengapa langkah itu harus tertib.
Mengapa suami perlu sabar dan teguh,
dan isteri bukan hanya setia,
tetapi mampu berdiri dengan kasih yang bijak.
⸻
- Tubuh Menyerap Petuah Leluhur
Petuah adat tak selalu keluar sebagai suara,
kadang ia berbisik dalam hentakan kaki,
dalam tangan yang bergerak mengikuti irama,
dalam barisan yang melambangkan keteraturan dunia.
Beguru mengajarkan:
seorang suami harus tahu menempatkan diri—
bukan hanya di hadapan istri,
tetapi di tengah keluarga, adat, dan masyarakatnya.
Seorang dara pun dituntun menata langkah,
agar ia tak hanya cantik di pelaminan,
tetapi tangguh di simpang hidup:
tahu kapan diam, kapan bicara,
dan bagaimana menjaga marwah keluarga.
Sebab hidup berkeluarga di Tanoh Gayo
tak bisa dijalani sendiri.
Ia mesti bersandar pada nilai-nilai
yang dijahit rapi dalam baris-baris tarian ini.
⸻
- Malam Belajar, Seumur Hidup Mengingat
Tarian ini dimulai malam hari
di rumah petua kampung,
dengan iringan doa, suling bambu,
dan nasihat yang lirih namun dalam.
Geraknya tampak sederhana,
tapi tiap langkah adalah pesan tersembunyi:
bahwa hidup tak bisa terburu-buru,
dan cinta butuh kendali, bukan semata gejolak.
Petua berkata:
“Jangan kau mendahului, jangan pula tertinggal.
Ikutilah irama hidup dengan hormat,
dan belajarlah—selalu belajar.”
⸻
- Warisan yang Tak Tergantikan
Kini banyak pemuda melangkah ke pelaminan
bagai tamu di pesta:
tanpa Beguru, tanpa petuah,
tanpa mengerti makna dalam tarian nenek moyang.
Banyak dara pun tak lagi mendengar
nasihat neneknya tentang menjaga rumah,
tentang sabar yang disulam dalam tenun,
dan lembut yang dilatih sejak gadis.
Namun di pedalaman Gayo,
masih ada yang setia menjaga:
anak muda yang bersanding dengan adat dahulu
sebelum bersanding dengan cinta.
Sebab Beguru bukan sekadar ritual—
ia pusaka tanpa bentuk,
diturunkan lewat malam-malam sunyi,
disimpan dalam ingatan kaki,
dan diresapi dalam detak dada.
⸻
- Penutup: Jalan yang Ditempuh dengan Hormat
Beguru adalah belajar dalam waktu singkat,
untuk bekal seumur hidup.
Bukan ijazah yang diberikan,
melainkan rasa hormat yang tumbuh melalui gerak.
Saat tubuh bergerak mengikuti adat,
jiwa pun tahu bagaimana berjalan di dunia.
Dan di situlah seorang lelaki
menjadi suami, ayah, dan bagian dari kampungnya.
Dan seorang dara pun memahami satu hal penting:
bahwa menjadi isteri bukan soal tunduk,
melainkan memahami irama hidup—
tahu kapan mendengar, kapan bicara,
dan bagaimana merawat cinta dengan akal dan adab.
Sebab adat mengajarkan:
cinta saja tak cukup jadi bekal,
jika tak disertai kehormatan, kesabaran, dan nalar.
⸻
📌 Catatan Kaki:
1. Beguru berasal dari kata berguru, bentuk pendidikan adat Gayo bagi calon pengantin pria, dan secara simbolik juga menyentuh pembelajaran untuk wanita.
2. Tradisi ini berlangsung satu hingga dua malam, dipimpin oleh petua adat, dan berisi nilai moral, etika, serta tata hidup rumah tangga dalam masyarakat.
3. Beguru masih hidup di Aceh Tengah dan Bener Meriah, di tengah komunitas Gayo yang menjunjung tinggi warisan leluhur.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.