Breaking News

🌿 Di Sudut Gang, Puisi Masih Bernyawa

  • untuk Ical Vrigar dan Rekan-rekan ATAP

Puisi Esai Oleh L. K. Ara

1.  Di Mana Suara Itu Bergetar

Puisi, kau bilang, telah lama pindah ke awan digital.
Tak lagi menyentuh tanah, tak menyapa hujan,
tak menggetarkan dada dari panggung-panggung sederhana.
Tapi lihatlah Ical Vrigar,
maestro deklamator yang suaranya masih gemetar
karena cinta, bukan karena mikrofon rusak.

Di markas kecil bernama ATAP,
dari atap yang bocor dan lantai yang retak,
mereka nyanyikan kembali Sutardji,
Presiden Puisi yang tak pernah benar-benar pergi.
Dari puisi ia datang,
ke puisi pula ia dipanggil kembali.

“aku puisi / aku presiden puisi / aku beri kalian mantra / bukan sajak duka…”
— Sutardji Calzoum Bachri

2.  Generasi yang Tidak Hilang

Kata mereka, anak muda kini enggan bertatap muka.
Terlalu nyaman menatap layar,
menggulir waktu lewat jempol yang tak punya denyut sejarah.
Tapi malam itu,
dari lorong sempit Jakarta Pusat,
muncul suara-suara yang mendekat,
mata-mata yang menatap,
telinga yang sungguh ingin mendengar.

Diskusi tentang puisi bukan hanya jargon,
tapi pertemuan sunyi yang jadi gemuruh.
Generasi muda pun ingin menyentuh
jejak-jejak penyair yang berjalan dengan luka,
menulis dengan cahaya,
dan mendeklamasikan cinta tanpa takut ditertawakan dunia.

“kata harus dibebaskan dari makna / biarkan kata berjingkrak / seperti anak kecil di jalan raya…”
— Sutardji Calzoum Bachri

3.  Kebudayaan dari Tanpa Gedung

Salut pada pentas tanpa panggung megah.
Tanpa pendingin ruangan atau kursi empuk berderet.
Hanya tikar, gitar, dan nyali.
Tapi maknanya: seluas langit malam yang terbuka,
seterang cahaya kecil dari obor dalam dada.

Kenapa belum ada sentuhan kebijakan?
Barangkali karena panggung ini tak punya karpet merah.
Barangkali karena puisi masih dianggap bayangan
bukan bahan pembangunan.

Padahal hanya dengan dana sekian,
bisa disulap menjadi ruang temu,
di kelurahan, di gang kecil, di sudut warung kopi.
Bukan harus menunggu surat dari kementerian,
bukan mesti melalui pintu nepotisme yang berderit.
4. Regenerasi dari Swadaya

Sudah lima kali mereka pentas.
Sebulan sekali, tanpa upah,
tanpa pamrih, tanpa pamit ke pejabat.
Tapi setiap kali mereka tampil,
lahirlah kepercayaan baru
bahwa sastra belum tamat,
dan puisi masih bisa jadi jembatan.

“karena kata bukan milik kamus / kata adalah suara / kata adalah tenaga / kata adalah kita!”
— Sutardji Calzoum Bachri

Puisi bukan hanya soal rima,
tapi ruang yang menghubungkan jiwa.
Mereka buktikan: regenerasi tidak butuh birokrasi.
Cukup dengan cinta,
dan secangkir kopi pahit yang jujur.

💬 Catatan Kaki:
1. Kutipan puisi diambil dari karya-karya Sutardji Calzoum Bachri dalam antologi O, Amuk, Kapak, dan Tragedi Winka dan Sihka.
2. Ical Vrigar adalah deklamator puisi yang telah berkali-kali menjuarai lomba tingkat nasional.
3. ATAP (Asosiasi Teater Jakarta Pusat) aktif menggelar pentas puisi dan musikalisasi puisi sebulan sekali secara swadaya.
4. Kegiatan ini belum tersentuh dukungan pemerintah, tapi justru menjadi contoh nyata regenerasi sastra dari komunitas bawah.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca