Breaking News

CAFÉ SELADANG: MENYEDUH GAYO, MENJAMU DUNIA

Puisi Esai oleh L. K. Ara

🔹 Pengantar: Warung Kecil, Wibawa Besar

Bukan hanya bangku dan cangkir yang tersusun di sini—
tapi waktu, dan cara menyambut tamu dengan dada lapang.

Café Seladang adalah perapian kecil di tengah hutan adat,
tempat rasa diseduh perlahan, dan hormat dituangkan bersama uap kopi.

Ia bukan sekadar kedai,
melainkan serambi jiwa: tempat orang asing dipersilakan menjadi saudara.

🔹 Rimbun Bur Telong dan Atap Kesadaran

Ia dibangun bukan di tengah riuh jalan kota,
melainkan di pelataran rimbun—
di kaki Bur Telong, yang berdiri seperti imam gunung dalam shalat alam.¹

Di bawahnya, Café Seladang tumbuh seperti surau dari kayu kopi,
menyambut pagi yang turun perlahan dari lereng,
dan sore yang ditiupkan angin dari kebun.

“Silakan duduk, tamu kami,”
ujar para pelayan dengan wajah yang disulam adat.
Di sini, angin pun tahu caranya menyapa.²

🔹 Cangkir Kopi dan Piring Adat

Yang datang bukan hanya dari Takengon dan Bener Meriah,
tapi juga dari kota-kota jauh yang tak kenal bunyi rapa’i,
dan belum pernah mendengar syair ceh Didong.³

Namun mereka semua duduk dalam lingkar yang sama—
dan mencicipi lebih dari sekadar kopi.

Mereka mencicipi sopan santun yang dijaga seperti ladang warisan:
ucapan yang tenang, gerak tangan yang lembut,
mata yang menunduk bukan karena lemah,
tetapi karena tahu:
*menyambut tamu adalah doa yang diwujudkan menjadi sikap.*⁴

🔹 Menjamu Dunia dengan Budaya

Café Seladang bukan sekadar menyuguhkan robusta,
ia menyuguhkan cara menjadi manusia.

Kita tidak menjual rasa pahit atau manis,
kita memperkenalkan bumi yang menumbuhkan,
dan orang tua yang mengajarkan:

“Beri tamumu tempat terbaik,
meski kau sendiri berdiri di pintu.”⁵

🔹 Catatan Akhir: Di Antara Rasa dan Tata

Kami tak menjual kopi,
kami memperkenalkan tanah dan tangan yang menanamnya.

Kami tak sekadar menyeduh,
kami menyampaikan pesan bahwa Gayo
bukan hanya dataran tinggi,
melainkan ketinggian peradaban.

Datanglah, ke Café Seladang—
di mana setiap tegukan adalah salam,
dan setiap duduk adalah pelajaran tentang menjadi manusia.

📌 Catatan Kaki:
1. Bur Telong: Gunung ikonik di Kabupaten Bener Meriah, bagian dari pegunungan Gayo. Sering dijadikan simbol alam sekaligus penjaga wilayah.
2. Angin tahu cara menyapa: Metafora bagi kehalusan sikap orang Gayo yang bahkan membuat suasana alam terasa bersahabat.
3. Rapa’i dan Didong: Rapa’i adalah alat musik tradisional Aceh, sedangkan Didong adalah seni tutur Gayo yang memadukan syair, tepukan, dan irama.
4. Tunduk mata bukan lemah: Dalam budaya Gayo, menunduk saat menyambut tamu adalah bentuk kesopanan, bukan ketakutan.
5. Tuan rumah berdiri di pintu: Peribahasa adat yang mengajarkan pentingnya mendahulukan kenyamanan tamu.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca