Breaking News

Menggambar Dengan Mata Batin

(Puisi Esai untuk Guruku Tomtar oleh LK Ara)

🔹 Pengantar: Pena, Hutan, dan Suara yang Tetap Menyala

Ada guru yang mengajarkan kita rumus dan definisi.
Ada pula yang memberimu pena, lalu membiarkanmu
mencari sendiri arah angin dan arti semesta.

Guruku Tomtar adalah yang kedua.
Ia tak memintaku menyelesaikan gambar,
tapi menyelami apa yang tersembunyi dalam garis.

Baginya, pena bukan alat menyelesaikan tugas,
melainkan kunci semesta—
yang hanya membuka keindahan
bila diiringi rasa, pengamatan, dan kesabaran.

Dan sejak itulah,
aku tak lagi menggambar gunung.
Aku menanam hutan di dalam kertas.

✒️ PUISI ESAI

  1. Pena Itu Hadiah yang Menghidupkan Alam

Kau beri aku pena—
tanpa upacara, tanpa pidato—
hanya alat kecil
yang bisa menghidupkan gunung dan langit.

“Ambillah,” katamu,
“lukislah awan, semesta, dan yang kau cintai.”

Dengan semangat kugoreskan tiga lengkung jadi gunung,
dua pusaran jadi awan,
matahari bulat di sudut kanan.
Beberapa detik—selesai.

“Sudah siap, Guru,” kataku.
Kau tersenyum, lalu berpesan:

“Coba sekali lagi.
Lukis gunungmu, tapi biarkan ia bernapas.
Tunjukkan hutan:
pohon kayu, cabang, ranting,
dan daun yang tahu kapan gugur.”

  1. Belajar Melihat yang Tak Tampak

“Dunia tak dibangun dari garis besar saja,” katamu.

Ia tumbuh dari detail yang hening:
bayangan daun,
luka di kulit pohon,
angin yang menyelinap di antara celah ranting.

Pena kutatap seperti cermin,
dan aku mulai belajar—
bukan hanya menggambar,
tapi mengamati.

Menunggu pohon tumbuh di kepala,
mendengar desir daun sebelum kutorehkan tinta.

  1. Di Balik Gunung Ada Jiwa

Kau ajarkan:
gunung bukan sekadar tinggi,
melainkan tempat matahari belajar tenggelam,
dan kabut tak pernah sama dua pagi berturut-turut.

Karya bukan soal cepat selesai,
tapi seberapa dalam kita menyentuh isinya.

“Bayangkan kau jadi akar,
menyusup ke tanah keras,
mencari mata air di kegelapan,” katamu.

Sejak itu,
tiap garis kutarik dengan rasa.

  1. Suaramu Masih Tinggal Dalam Pena

Tahun-tahun telah pergi.
Langitku sudah berganti.
Tapi pena itu masih menari—
dengan suaramu di balik bisu tinta.

Setiap kali aku menulis,
aku mendengar pesan yang dulu tertunda:

“Buatlah karya seperti hutan:
rumit tapi utuh.
Jangan hanya menggambar—
peluklah dunia yang kau goreskan.”

📚 Penutup

Terima kasih, Guruku Tomtar.
Kau tidak memberiku jawaban,
tapi jalan menuju penglihatan yang lebih jernih.

Pena ini masih kupakai.
Dan setiap goresannya—
adalah kenangan
yang terus tumbuh menjadi hutan.

🕊️ Untuk semua guru yang tidak hanya mengajarkan,

tetapi juga menanamkan rasa.

Silakan tag gurumu,
kirim puisi ini sebagai tanda cinta.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca