Puisi Esai oleh L. K. Ara
Yang kubawa pulang
hanyalah segenggam senja
yang kusimpan dalam lembaran puisi—
bukan emas, bukan ladang
bukan pula rumah megah berlantai marmer.
Tapi inilah warisanku:
bait-bait yang kupahat
di batu sunyi
selama bertahun-tahun di rantau jauh.
Aku mestinya malu,
karena tangan ini kosong dari dunia,
tapi hatiku penuh langit
yang kupotong-potong jadi puisi.
Tak ada peti harta,
tapi ada peti luka
yang kugubah jadi kidung.
Tak ada kebun,
tapi ada ladang kata
yang kurawat dengan air mata dan cahaya fajar.
Dan lihatlah,
negeri ini menyambut
dengan mata yang ramah
dan peluk yang hangat seperti kopi tua.
Mereka tahu,
aku bukan membawa barang dagangan,
melainkan serpihan langit
yang pernah jatuh ke dadaku
dan kutulis sebagai cinta.
Wakil Bupati Armia, S.Pd.I,
menerima buku kecil itu
seperti menerima kabar dari kampung
yang lama hilang dari peta,
sementara para pemuda di sekelilingku
mendengar kata-kata
seperti mendengar suara air
yang mengalir dari masa silam
menuju masa depan.
Inilah bahagiaku—
bukan karena aku kaya,
tapi karena aku pernah menjadi
penyambung nyawa sejarah
dengan pena dan kesabaran.
Serpihan cinta ini,
meski kecil dan usang,
biarlah menjadi bara
yang terus menyala
di jantung Aceh yang tak pernah padam.
Semua ini disaksikan Bur Telong,
dan diketahui riap jutaan daun kopi Bener Meriah
yang mendengar diam-diam,
betapa puisi bisa jadi pusaka.
⸻
Terima kasih kepada Wabup Armia dan para sahabat muda yang menyambut puisi ini seperti menyambut kabar dari rumah lama yang hampir terlupa. Semoga serpihan cinta ini terus tumbuh jadi cahaya di hati kita semua.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.