Breaking News

Aceh Memberi Nyawa, Negara Membalas Luka

Puisi Esai oleh LK Ara

Jakarta boleh menang di kertas—
di ruang sidang, di meja perundingan,
di pasal-pasal yang dingin dan sunyi.
Tapi Aceh…
punya memori darah,
dan darah tak bisa disobek seperti arsip.

Kami melawan seperti lilin yang menolak padam di tengah badai,
terang kecil yang keras kepala—
menolak tunduk pada gelap yang datang dari selatan.

Ketika republik masih merangkak,
kami tak sibuk soal kursi dan kabinet.
Kami sibuk mengulurkan tangan—
dengan emas, dengan senjata, dengan nyawa.

Kami melawan seperti akar yang menolak dicabut,
meski tanah tempat kami berdiri
diguncang dari segala arah.

Di rimba Pidie, di sunyi Aceh Tengah,
Radio Rimba Raya menjadi bisikan kecil
yang menyentak dunia.
Kami melawan seperti radio tua di tengah hutan,
suaranya mungkin lemah, tapi mengguncang dunia luar
bahwa Indonesia masih hidup.

MEMORI ITU BELUM KERING

Kalian mencatat kemenangan,
kami menyimpan kehilangan.
Kalian merayakan upacara,
kami menabur doa di pemakaman massal.

Bukan kami tak cinta negeri ini,
tapi negeri ini terlalu sering
melupakan cinta kami.

Kami melawan seperti batu yang tak tunduk pada sungai,
diam, tapi tak bisa dihanyutkan sejarah.

JANJI ITU BERLARI, TAPI KAMI TIDAK LUPA

Sukarno bersumpah di depan ulama Aceh:
bahwa negeri kami akan diistimewakan.
Kami percaya. Kami sabar.
Tapi sejarah memilih jalan tikus,
dan janji itu melarikan diri
ke dalam rapat-rapat yang tak lagi menyebut nama kami.

Kami melawan seperti meunasah yang berdiri di tengah api,
hangus sekitarnya, tapi teguh dalam azan.

ACEH TAK HANYA BERINGAS—ACEH JUGA BERINGAT

Jika kami marah, itu bukan karena dendam.
Tapi karena sejarah tidak adil.
Karena emas kami di Monas bersinar,
tapi nama kami tak dipahat di batu dasarnya.

Kami melawan seperti luka yang menolak sembuh demi dikenang,
karena yang dilupakan akan diulang.

Kami tidak menuntut pamrih.
Tapi kami menolak dikubur diam-diam
dalam narasi yang tak pernah kami tulis.

PENUTUP: MELAWAN LUPA ADALAH IKRAR TERAKHIR

Jika kalian hanya membaca sejarah di buku,
maka kalian sedang membaca versi yang bersih.
Tapi kami punya sejarah yang lengket di lumpur,
yang pahit di ingatan nenek kami,
yang basah di sajadah dan kubur pejuang tanpa nama.

Dan selama memori darah itu hidup,
kami tidak akan diam.

Kami melawan seperti doa di tengah debu mesiu:
sunyi tapi tak bisa dibungkam.
Karena melawan lupa adalah bentuk cinta yang terakhir.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca