Breaking News

Lut Tawar: Air yang Dicemari Janji

Puisi Esai LK Ara

1.

Di pagi sunyi di Takengon,
angin menyisir riak-riak luka yang belum sembuh—
Danau Lut Tawar terbentang
seperti ibu yang menahan tangis
melihat tubuhnya disayat pelan-pelan.

Di atas air yang dulu jernih,
cangkul padang diangkat dari perut danau,
seperti duri yang baru disadari keberadaannya
setelah bertahun-tahun tertanam.

“Kami tertibkan, demi danau yang lestari,”
kata para pejabat di depan kamera.
Pada hari itu, jaring diringkus,
rakit dibongkar,
dan danau seolah disapu dari permukaan luka.

Tapi luka yang sesungguhnya bukan di permukaan,
melainkan di kedalaman
yang tak pernah ditengok dengan mata batin.

WALHI datang bukan membawa pujian,
melainkan cermin:
bahwa tubuh danau ini telah lama sakit—
bukan hanya oleh tangan nelayan,
tapi oleh kebijakan yang ragu,
oleh pengawasan yang tidur dalam statistik.

“Ini bukan soal satu dua cangkul,” ujar Om Sol,
“tapi soal cara kita memperlakukan air
seperti tanah yang bisa diwarisi tanpa dicintai.”

Danau tak butuh seremoni.
Ia butuh kesetiaan.

2.

Luka pertama: keramba-keramba tumbuh
seperti benalu yang menjalar tanpa arah.
Pelet ditebar lebih banyak dari cinta,
dan limbah jatuh ke dasar
seperti doa-doa yang tak pernah sampai ke langit.

Ikan-ikan depik,
anak kandung danau,
mati diam-diam
seperti nama yang dihapus dari silsilah.

Luka kedua: limbah rumah tangga dan usaha kecil,
jatuh ke danau seperti bisik-bisik dosa
yang dibiarkan mengendap,
hingga air pun kehilangan suaranya
untuk memprotes.

Luka ketiga: sempadan yang dikeruk,
rumah dan bangunan berdiri di leher danau—
menjepit nafasnya,
seakan tanah itu warisan pribadi,
bukan ruang sakral.

Luka keempat:
aturan yang seperti jaring berlubang.
Ia ada, tapi dilewati begitu saja
oleh kepentingan yang lebih cepat dari keadilan.

WALHI mengetuk pintu kesadaran,
meminta peta jalan—
bukan sekadar rencana yang ditulis dengan tinta,
tetapi dengan keringat dan ketegasan.

“Penataan ruang. Pengawasan limbah.
Pemberdayaan masyarakat. Hukum yang menggigit,
bukan menggeliat.”
Suara itu tak datang dari marah,
tapi dari cinta yang sudah terlalu lelah menunggu.

Air bukan hanya zat.
Ia adalah cermin masa depan.
Jika kita gagal menjaganya hari ini,
kita akan mewarisi bukan danau,
tapi kubangan penyesalan.

Dan jika air ini bisa bersaksi,
ia akan berkata:
“Aku bukan hanya sumber ikan dan indah dalam foto,
aku adalah nadi bumi,
yang kalian sembelih
dengan janji-janji yang tak pernah dibayar.”

Kalanareh, Mei 2025

📝 Catatan Kaki
1. Cangkul Padang dan Dedem: Alat tangkap ikan yang merusak dasar danau.
2. Keramba: Jaring apung untuk budidaya ikan, jika tak diatur bisa mencemari danau.
3. Depik: Ikan endemik Danau Lut Tawar yang kini terancam punah.
4. Sempadan: Zona penyangga antara danau dan aktivitas manusia yang harus dilindungi.
5. WALHI: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, lembaga advokasi lingkungan hidup.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca