Alat berat di lokasi TPA Uwer Tetemi. Foto: Mustawalad
Setiap pagi, sebelum matahari muncul dari balik punggung Bukit Barisan di Bintang, ada sosok-sosok yang tak pernah disebut dalam doa kita. Mereka tak duduk di belakang meja, tak memakai seragam gagah, dan tak pernah diliput kamera media. Mereka adalah para pahlawan tanpa nama: tukang sampah. Mereka yang setiap hari menggenggam kotoran masyarakat, memungut sisa-sisa dosa kolektif kita yang dengan santainya kita lempar ke jalanan, ke selokan, ke sungai—ke mana saja, asal bukan di rumah kita sendiri.
Masyarakat Aceh Tengah, tidakkah kalian malu?
Kita hidup di dataran tinggi yang indah. Tanah yang diberkati. Danau Lut Tawar yang memesona, kebun kopi yang mendunia, udara yang sejuk—semuanya karunia Allah. Tapi apa yang kita lakukan dengan anugerah itu? Kita cemari. Kita kotori. Kita lempar plastik dari jendela mobil seperti melempar kutukan kepada bumi sendiri. Kita buang puntung rokok ke trotoar seolah trotoar itu tempatnya najis. Kita anggap membuang sampah pada tempatnya sebagai beban, bukan tanggung jawab.
Tidakkah kalian tahu bahwa tukang sampah bukan makhluk abadi? Bahwa mereka punya keluarga, punya paru-paru yang juga menghirup bau busuk, punya tangan yang luka karena mengangkat pecahan botol dan pembalut bekas? Mereka bukan robot. Mereka manusia. Dan mereka sedang membersihkan kekacauan yang kita buat sendiri!
Informasi yang KenNews.id dapatkan dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Aceh Tengah, Subhan Sahara, Rabu, 23 April 2025. “Para tukang sampah itu hanya digaji Rp800 ribu per bulan,” Sangat tidak manusiawi.
Berapa banyak dari kita yang tahu nama tukang sampah di lingkungan kita? Berapa banyak dari kita yang menatap mata mereka saat mereka lewat di depan rumah? Atau, lebih jujur lagi: berapa banyak dari kita yang bahkan tidak pernah menganggap mereka ada?
Ini bukan sekadar tentang kebersihan. Ini tentang harga diri. Tentang bagaimana sebuah masyarakat memperlakukan yang paling tak terlihat. Bila kita tak mampu menghargai tukang sampah, jangan bicara soal adat. Jangan bicara soal syariat. Jangan bicara soal kemuliaan Gayo, karena sejatinya kita sedang menggali kubur bagi masa depan kita sendiri, dengan tangan yang kotor oleh sikap tak peduli.
Aceh Tengah harus berubah.
Sudah waktunya kita berhenti berpura-pura suci di masjid, tapi kotor di jalanan. Sudah waktunya kita sadar bahwa empati adalah inti dari peradaban. Hormatilah tukang sampah. Sapa mereka. Bayar mereka layak. Tapi yang paling penting: jangan buat hidup mereka lebih berat dengan membuang sampah sembarangan.
Mulailah dari rumahmu sendiri. Dari kantongmu sendiri. Jangan wariskan kepada anak-anak kita budaya menjijikkan ini. Karena jika kita tidak berubah sekarang, akan datang saat di mana Aceh Tengah bukan lagi tanah surga, tapi tempat pembuangan dosa yang kita cipta bersama.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.