Breaking News
UMUM  

Kota Raya Gayo: Alternatif Otonomi Konstitusional Tanpa Memecah Aceh

Oleh: Rizki Rahayu Fitri
rizkirahayuf@gmail.com

Wacana pemekaran wilayah di Provinsi Aceh, khususnya pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA), kembali menguat. Narasi yang dibangun kerap mengangkat isu ketertinggalan pembangunan, jauhnya akses pelayanan publik, hingga ketidakadilan alokasi anggaran dari Banda Aceh.

Tuntutan ini terutama datang dari kawasan dataran tinggi Aceh seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara.

Namun, alih-alih mendorong pemekaran provinsi baru yang berisiko memecah sosial budaya Aceh, pendekatan yang lebih konstitusional, inklusif, dan solutif justru adalah dengan membentuk Kota Raya Gayo sebuah entitas otonomi baru berbasis kawasan yang kuat secara administratif tanpa harus keluar dari bingkai Aceh.

Konteks Sosial dan Kultural: Menghindari Pemisahan Identitas Secara historis dan budaya, kawasan Gayo memiliki identitas yang kuat namun tidak eksklusif.

Etnis Gayo dikenal adaptif dan terbuka terhadap keragaman etnis lainnya di Aceh, seperti Alas, Singkil, Aneuk Jamee, dan Jawa.

Wacana pemekaran Provinsi ALA yang kerap membawa identitas kedaerahan sebagai dalih, berpotensi menimbulkan fragmentasi horizontal yang justru merugikan keberagaman itu sendiri.

Apalagi, pembentukan provinsi baru kerap melibatkan kontestasi batas wilayah, ego sektoral antarkabupaten, hingga sengketa administratif yang melelahkan.

Kasus serupa terjadi pada pemekaran Provinsi Papua dan Sulawesi Tenggara, yang tidak serta-merta mempercepat pembangunan, bahkan menyisakan ketegangan antaretnis dan elite lokal.

Aceh tentu tidak ingin mengulang sejarah pahit konflik berkepanjangan dalam format baru yang lebih tersembunyi: konflik identitas administratif.

Jalan Tengah: Kota Raya Gayo sebagai Solusi Otonomi Alternatif

Dalam konteks inilah, pembentukan Kota Raya Gayo menjadi jawaban.

Mengubah status Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara menjadi satu entitas kota otonom atau kawasan metropolitan memiliki beberapa keuntungan strategis:

  1. Memperkuat Administrasi Wilayah Tanpa Menambah Provinsi Dengan memanfaatkan kerangka kerja sama antardaerah dalam Pasal 363 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ketiga kabupaten dapat menyatukan perencanaan pembangunan, pengelolaan anggaran, hingga penyediaan layanan publik melalui Badan Pengelola Bersama Metropolitan Gayo. Ini jauh lebih efisien daripada membentuk provinsi baru yang membutuhkan DPRD, gubernur, kantor vertikal, hingga struktur birokrasi lengkap yang biayanya fantastis.
  2. Memenuhi Amanat Konstitusi Tanpa Menabrak UUPA Pasal 18 UUD 1945 memberikan ruang untuk otonomi daerah seluas-luasnya dalam konteks NKRI.
  3. Namun, Aceh sebagai daerah dengan kekhususan memiliki dasar hukum tambahan, yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA secara eksplisit hanya memperbolehkan pemekaran dalam bentuk kabupaten/kota, bukan provinsi baru. Artinya, pemekaran ALA secara hukum dapat dikategorikan bertentangan dengan semangat damai Helsinki yang melandasi perdamaian pascakonflik di Aceh.
  4. Mendorong Pemerataan Pembangunan Melalui Integrasi Wilayah Ketiga kabupaten yang tergabung dalam kawasan Gayo memiliki potensi luar biasa: kopi arabika Gayo yang mendunia, kekayaan hutan Leuser, dan kekuatan sosial budaya yang harmonis.

Dalam skema metropolitan atau kota besar, potensi ini bisa dikonsolidasikan dalam satu tata ruang, satu perencanaan anggaran, dan satu manajemen pembangunan. Ini akan mempercepat investasi, penguatan UMKM, dan perluasan akses infrastruktur—tanpa harus menunggu restu pemekaran provinsi yang berbelit-belit.

Pendorong utama wacana ALA selama ini datang dari aktor-aktor lokal yang memanfaatkan narasi “ketertinggalan” untuk menggalang dukungan politik. Dalam beberapa kasus, tuntutan pemekaran bahkan digunakan sebagai alat tawar menjelang pemilu legislatif atau pilkada.

Namun, ketika ditinjau secara lebih rasional, banyak masyarakat akar rumput justru tidak menginginkan pemisahan dari Aceh. Yang mereka butuhkan adalah akses lebih cepat terhadap layanan publik, pembangunan jalan, pendidikan yang layak, dan harga komoditas yang stabil, semua itu bisa diwujudkan tanpa harus menjadi provinsi.

Sejatinya, pendekatan transformasi kabupaten menjadi kota raya atau kota khusus adalah kompromi terbaik. Ini bukan kompromi dalam arti melemahkan aspirasi, tetapi kompromi yang berlandaskan hukum, rasionalitas anggaran, dan menjaga kohesi sosial Aceh secara utuh.

Pemekaran provinsi bukan tanpa dampak negatif. Studi dari Kementerian Dalam Negeri dan LIPI menunjukkan bahwa lebih dari 80% daerah pemekaran baru justru tidak mampu berdiri secara fiskal dalam 10 tahun pertama. Mereka bergantung pada dana transfer pusat, minim PAD, dan mengalami stagnasi pelayanan dasar karena lemahnya kapasitas birokrasi lokal.

Belum lagi persoalan korupsi, politisasi birokrasi, dan konflik antarelite lokal yang kerap membayangi daerah baru. Jika itu terjadi di kawasan ALA yang kompleks secara geografis dan etnis, risiko keterbelahan Aceh akan semakin besar.

Di titik inilah pentingnya meluruskan arah perjuangan otonomi menjadi perjuangan substantif, bukan simbolik administratif.

Sudah saatnya kita berpikir lebih bijak dan visioner. Menaikkan status kawasan Gayo menjadi Kota Raya Gayo adalah bentuk otonomi yang adil, realistis, dan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan dan keistimewaan Aceh.

Ini adalah upaya untuk membangun tanpa memecah, dan memajukan tanpa menciptakan luka baru dalam sejarah panjang Aceh.

Solusi ini tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga rasional secara politik, efisien secara fiskal, dan aman secara sosial.

Gayo akan tetap menjadi bagian dari Aceh, tetapi dengan kekuatan baru yang terintegrasi, modern, dan mampu menjadi pusat pertumbuhan kawasan yang membanggakan.

* Penulis merupakan Pengamat dan juga dosen Hukum Tata Negara


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca