Oleh: Rizki Rahayu Fitri
Pendaftaran bakal calon Kepala Daerah dalam Pilkada 2024, baru akan dibuka, 27 Agustus hingga 29 Agustus nanti, para calon penguasa tampaknya sudah gelisah ingin dikenal di masyarakat untuk merebut kursi panas.
Aceh Tengah memiliki ibu kota di Takengon, sedang riak dengan gumaman yang tidak jelas rimba suaranya, seperti berbunyi: “pilih saya, nanti takengon akan menjadi kota maju”, “pilih saya insyaAllah hukum islam kita perketat”, naif sekali. Visi misi sebagai ajang lomba pidato.
Jualan demokrasi seperti ini membuat perut mual, tetapi tetap dilakoni. Sudah melanggar aturan kampanye, masa mau di pilih, pendaftaran belum dibuka, kampanye belum di intruksikan, inikan namanya jual diri secara ilegal dalam konteks demokrasi.
Rata rata yang mau mencalonkan diri pernah duduk di eksekutif dan legislatif, apa yang mau di harapkan lagi dari mereka? Pembangunan? Pembangunan apa, padahal uang negara dan daerah, tapi klaim karena mereka.
Lampu kota mati aja tidak diurusi, jalan berlubang di jalan Lintang di pelihara rusak, mungkin agar ada isue APBK turun. Mual bukan dengar nya?
Calon kepala daerah hari ini, sungguh terkesan narsis, tebar senyum di dinding-dinding rumah orang sebelum intruksi kampanye diserukan.
Pembangunan dan infrastruktur masih dibawah rata-rata, notabenenya yang sedang mencalonkan ini ex pejabat daerah, apa tidak malu ya, tebar janji dan tebar pesona serta memberi bantuan seolah dari kantong sendiri anggarannya.
Sejauh ini, kota Takengon belum maju. Tentu jelas belum maju, indikator maju saja belum tercapai. Yang maju itu bukan kotanya namun maju sebagai calon kepala daerah.
Sejatinya, pendapatan besar bisa diraih tapi support system untuk kemajuan daerah itu tidak ada, melainkan karena mindset masyarakatnya yang ingin berubah maka perubahan yang terlihat hari ini karena masyarakat.
Sayangnya juga, yang berinvestasi di wilayah tengah tersebut masih syukur orang Indonesia yang di luar Takengon bukan bangsa asing atau warga negara lain. Tapi sangat di sayangkan, kemana pribumi itu perginya? Pariwisata Aceh Tengah seharusnya bisa menghasilkan cuan yang berlimpah, tetapi hanya menghabiskan uang untuk seremonial pemilihan duta atau kegiatan yang banyak memakan anggaran.
Pendidikan yang masih amburadul, jarang dilihat sektornya. Data-data pendidikan invalid pemerintah daerah hanya tidur siang. Bagaimana Aceh Tengah bisa bersaing di 1 abad indonesia? Kasihan juga pemerintah daerah dikasih PR, bukan untuk dikerjain malah di rawat PRnya untuk isue pilkada selanjutnya
Banyak hal yang harusnya mahasiswa Aceh Tengah hari ini bisa kritisi, ketidak layakan calon kepala daerah membuat kita resah. Harus nya fokus berbenah bukan expansi menggali keluh kesah.
Pilkada belum dibuka, pertarungan belum di mulai, diawali tidak tertib. Ciri ciri pemimpin abuse of power. Terlalu narsis dan naif, seakan sudah menjabat.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.