Oleh: Tazkir, S.Pd, M.Pd
Liburan sekolah seharusnya menjadi waktu yang dinanti semua siswa, waktu ketika anak-anak melepas penat dari rutinitas belajar, bercengkerama dengan keluarga, dan menikmati hari-hari tanpa beban tugas.
Namun, bagi sebagian masyarakat Aceh, khususnya di wilayah yang terdampak banjir dan longsor, liburan sekolah tahun ini berubah menjadi lembaran duka sulit dilupakan.
Tragedi yang terjadi pada 26 November 2025 bukan sekadar bencana alam, melainkan luka kolektif membekas dalam ingatan selamanya. Hujan turun tanpa jeda. Sepekan penuh langit Aceh seolah runtuh, menumpahkan air tanpa ampun. Sungai-sungai meluap, tanah kehilangan daya cengkeram, dan lereng-lereng bukit runtuh membawa apa saja yang dilewatinya. Jalan terputus, jembatan hanyut, akses antarwilayah terisolasi.
Dalam hitungan hari, kehidupan normal seakan dicabut paksa dari genggaman masyarakat.
Bencana ini oleh banyak warga disebut lebih dahsyat dibandingkan tsunami Aceh pertama, bukan karena gelombang lautnya, tetapi karena lamanya penderitaan dan sunyi yang menyertainya.
Jika tsunami datang menghantam dalam sekejap, maka banjir dan longsor ini perlahan-lahan menggerogoti harapan. Hari demi hari berlalu tanpa kepastian, tanpa cahaya, dan tanpa suara dunia luar.
Gelap menjadi teman setia. Tidak ada sinar lampu. Malam terasa lebih panjang dan mencekam. Anak-anak belajar mengenal ketakutan sejak dini—takut pada suara hujan, takut pada gemuruh tanah, takut pada kabar buruk mungkin datang esok hari. Tanpa listrik dan tanpa koneksi internet, masyarakat terputus dari informasi. Tidak tahu sampai kapan bencana ini berakhir, tidak tahu kapan bantuan tiba.
Stok pangan semakin menipis. Harga kebutuhan pokok melonjak tajam. Beras, minyak, gula, dan telur menjadi barang mahal yang harus dihemat dengan penuh perhitungan. Banyak keluarga menahan diri selama berminggu-minggu, makan seadanya, sekadar untuk bertahan hidup. Liburan sekolah yang seharusnya diisi dengan tawa, justru diwarnai dengan kecemasan dan keheningan.
Anak-anak tidak lagi berbicara tentang permainan atau cita-cita. Mereka bertanya dengan polos, “Kapan lampu hidup?” atau “Kapan hujan berhenti?” Pertanyaan sederhana yang sulit dijawab oleh orang tua. Para guru yang biasanya menyiapkan rencana pembelajaran, kini justru sibuk memastikan murid-muridnya masih selamat dan sehat. Pendidikan seakan berhenti, digantikan oleh pelajaran hidup tentang ketabahan dan kehilangan.
Tidak sedikit rumah terendam hingga ke atap. Perabot hanyut, buku-buku pelajaran rusak, pakaian tinggal kenangan. Jalan yang biasa dilalui kini berubah menjadi lumpur pekat. Jembatan yang dulu menjadi penghubung, kini hanya tersisa puing. Aceh seperti berdiri di antara puing-puing harapan, mencoba bangkit meski tertatih.
Tragedi tahun ini sungguh luar biasa. Ia tidak hanya merenggut harta benda, tetapi juga rasa aman dan ketenangan batin. Dalam gelap tanpa lampu dan sunyi tanpa internet, masyarakat Aceh belajar tentang arti kesabaran sesungguhnya. Belajar menerima kenyataan pahit, sambil berharap pada uluran tangan dan doa dari berbagai penjuru.
Namun di balik duka, masih ada secercah cahaya solidaritas. Tetangga saling berbagi, guru memikirkan muridnya, dan masyarakat bertahan dengan keyakinan bahwa badai pasti berlalu. Liburan sekolah tahun ini mungkin tak akan dikenang sebagai masa bahagia, tetapi akan tercatat sebagai pelajaran hidup tentang kekuatan manusia menghadapi ujian.
Aceh menangis, tetapi Aceh tidak menyerah. Dari reruntuhan dan lumpur, harapan perlahan akan tumbuh kembali. Semoga penebangan hutan berhenti dan masyarakat wajib menjaga lingkungan hutan, semoga Aceh kedepan bangkit dari keterpurukan ini,

