Breaking News

Ketika Kayu Mulai Bertanya

Catatan tentang Puisi, Ekologi, dan Dunia yang Memindahkan Luka

Dalam sejarah sastra, manusia selalu menjadi pusat suara. Alam hadir sebagai latar, simbol, atau cermin perasaan. Gunung memantulkan kesunyian, sungai mengalirkan rindu, hutan menjadi metafora rahim atau misteri. Namun jarang sekali alam diberi hak paling radikal dalam sastra: hak untuk bertanya balik kepada manusia.

Puisi Gelondongan Bertanya memulai pergeseran itu. Kayu—yang biasanya dianggap benda mati, komoditas, atau bahan bangunan—dinaikkan derajatnya menjadi subjek etis. Ia tidak berteriak, tidak menuntut, tidak mengancam. Ia hanya bertanya. Dan justru di situlah letak daya gugatnya.

Kayu yang Kehilangan Nama

Dalam dunia modern, kayu kehilangan namanya segera setelah ditebang. Ia bukan lagi pohon dengan sejarah ekologis, bukan penyangga tanah, bukan rumah burung dan kabut, melainkan gelondongan. Istilah ini menandai peralihan brutal dari kehidupan ke pasar. Puisi ini menangkap momen itu dengan presisi: saat identitas ekologis diganti oleh angka, izin, dan laporan.

Di Eropa, terutama di kota-kota seperti Berlin, kayu yang ditebang pada masa industrialisasi kini hadir sebagai arsip sejarah. Ia diawetkan dalam museum, diberi keterangan, dijadikan pelajaran tentang kesalahan masa lalu. Hutan yang hilang telah menjadi memori. Rasa bersalah telah menemukan tempatnya.

Di Skandinavia, seperti Oslo, kayu hadir sebagai data. Ia direncanakan sejak benih, ditebang dengan janji ditanam ulang, dihitung dalam sistem keberlanjutan. Etika dikelola melalui grafik dan regulasi. Alam dipelihara—selama ia tetap berada dalam batas negara.

Namun puisi ini berbicara dari wilayah lain: dari tempat di mana kayu belum sempat menjadi ingatan atau data, karena ia masih menjadi luka. Dari Global South, tempat kesalahan sejarah belum selesai, hanya berpindah alamat.

Pemindahan Luka Global

Ketika negara-negara maju merapikan hutannya, dunia tidak serta-merta menjadi lebih hijau. Luka ekologis dipindahkan. Kayu yang tidak boleh ditebang di utara, hidup kembali sebagai izin di selatan. Etika yang ketat di satu wilayah sering dibayar oleh kelonggaran di wilayah lain.

Puisi ini tidak menyebut istilah “kapitalisme global” atau “neokolonialisme”. Ia memilih jalan yang lebih sunyi dan lebih tajam: menghadirkan anak yang bertanya kepada ayahnya tentang rumah yang retak. Di hadapan pertanyaan itu, semua istilah besar menjadi tidak relevan. Yang tersisa hanya kenyataan: keputusan hari ini sedang menggerogoti masa depan yang tidak ikut rapat.

Bertanya sebagai Bentuk Perlawanan

Dalam banyak puisi protes, kemarahan menjadi energi utama. Namun Gelondongan Bertanya memilih etika lain. Ia menolak teriakan, memilih pertanyaan. Dalam tradisi sastra etis, pertanyaan adalah bentuk perlawanan paling dalam, karena ia tidak selesai dalam satu jawaban. Pertanyaan terus hidup, berpindah kepala, menolak ditutup oleh pidato atau laporan.

Ketika kayu bertanya, yang digugat bukan hanya penebang, melainkan seluruh sistem yang memungkinkan penebangan tanpa rasa bersalah. Negara, pasar, konsumen, bahkan pembaca—semuanya dipanggil tanpa dituding secara langsung.

Posisi Puisi Ini

Tema alam dalam sastra dunia memang bukan hal baru. Dari Whitman hingga Neruda, dari Rilke hingga Snyder, alam telah lama berbicara. Namun yang jarang terjadi adalah alam berbicara sebagai korban kebijakan kontemporer, dengan bahasa administratif yang dibalikkan menjadi ironi puitik: izin, laporan, timbangan, pasar.

Di sinilah puisi ini menemukan posisinya: bukan sekadar puisi ekologi, melainkan puisi etika Global South. Ia tidak meminta simpati, tidak menawarkan romantisme alam. Ia hanya mengajukan pertanyaan yang terlalu sederhana untuk diabaikan, namun terlalu dalam untuk dijawab cepat:

siapa sebenarnya
yang ditebang hari ini—
kami,
atau
masa depan?

Ketika kayu mulai bertanya, sastra tidak lagi sekadar ruang keindahan. Ia berubah menjadi ruang pertanggungjawaban. La