Oleh: Ismar Ramadani
Hampir sebulan sejak tanggal 26 November 2025 dimana sebagain besar wilayah Aceh mengalami longsor dan banjir bandang. Setiap aliran sungai meluap membawa semua material dari dataran tinggi ke wilayah yang lebih rendah. Rumah, hancur, desa terhapus dan sejumlah jiwa terbawa bersama dengan arus air. Sebagian besar jalur tranportasi juga mengalami kelumpuhan.
Saya ingat betul setelah hujan yang terjadi hampir tiga harian, tidak lama berselang terjadi panic buying di Kecamatan Jagong Jeget dan menurut cerita hal yang sama juga terjadi di Takengon, Aceh Tengah.
Dampak dari berbelanja yang dipenuhi rasa takut akan stok bahan makanan menyebabkan sejumlah pedagang menaikkan harga meskipun bahan adalah stok lama. Tak ayal, harga beras dan barang lain melambung tinggi, termasuk pertamax, solar yang mencapai Rp.80.000/liter.
Fenomena diatas kemudian diangkat oleh Kennews sebagai ‘Mereka yang mendulang gigi emas pada masa bencana.
https://kennews.id/2025/12/15/para-pendulang-gigi-emas-di-tengah-bencana/. Opini menunjukkan bagaimana pedagang mengambil keuntungan dalam kondisi bencana. Ini tidak hanya membuat kesal penulis namun juga beberapa teman yang saya temui.
Mereka terkejut dengan sikap para pedagang yang lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan.
“Kalau kita liat, dia orang yang rajin shalat bahkan ke masjid”, ini merupakan ungkapan tidak percaya atas perbedaan sikap seseorang dalam beribadah dan berdagang.
Menurut sang teman, sikap pedagang sedikit mengurangi rasa hormatnya kepada pedagang tersebut. Saya akui memang ada kenaikan harga yang tidak wajar, apalgi saat kita tahu bahwa itu adalah barang lama.
Mereka yang memilih untuk membantu
Namun saat saya berbelanja tanggal 28 November 2025, saya menemukan pedagang yang memilih untuk menjual dengan harga normal. Meski karena alasan ini sejumlah barang di warung miliknya habis. Saat kami berdiskusi singkat tentang panic buying dan harga yang tinggi dia mengatakan bahwa dia ingin membantu warga mendapatkan barang barang dengan harga biasa.
Baginya, mengambil keuntungan disaat semua orang sedang menghadapi bencana bukanlah Langkah yang bijak. Saya juga berbincang dengan pedagang lain yang melakukan hal yang sama.
Bahkan saat semua orang memborong beras, mereka sengaja menyisakan untuk para lansia yang otomatis tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Selain itu, dia juga sudah membuat kebijakan untuk menjatah bahan bahan agar terbagi merata bagi semua warga.
Ditempat lain, seorang teman bercerita dia masih menemukan pengusaha tempe yang menjual dengan harga normal disaat kenaikan produk ini terjadi dimana mana.
Dari Banda Aceh, seorang teman yang lain pagi ini memberitahu, Gayobest yang merupakan home roastery langganannya masih memberi harga yang sama untuk produk kopi, karena itu merupakan stok lama. Dia begitu tersentuh dengan kebaikan ini.
Terkadang, ditengah situasi chaos semacam ini, kehadiran orang orang baik memberikan kekuatan yang besar. Mereka adalah orang orang yang lebih memilih hati yang lapang daripada gigi emas. Tidak banyak orang yang sadar bahwa kapital sosial itu lebih berharga dari pada lembaran uang yang dapat dengan mudah kehilangan nilai.
Semoga sikap pedagang baik ini tersebar diseluruh Lokasi bencana dengan kebaikan sederhana yang luar biasa sehingga dapat menjadi penyemangat bagi Gayo untuk bangkit lebih baik.

