Setiap kali musibah datang ke Aceh—banjir bandang, longsor, gempa, atau konflik sosial yang berulang—seniman selalu berada di barisan yang jarang disebut. Mereka bukan prioritas bantuan, bukan pula kelompok yang mudah terlihat dalam data resmi. Namun justru di tubuh merekalah ingatan kolektif Aceh sering bertahan.
Ketika air menelan rumah dan kebun, yang pertama hilang dari seniman Aceh bukan hanya harta, tetapi ruang cipta. Buku catatan basah, kanvas lumpur, alat musik lapuk, naskah hanyut bersama arus. Bagi petani, sawah adalah hidup; bagi seniman, sunyi dan ruang batin adalah ladang. Musibah merusak keduanya sekaligus.
Lebih berat lagi, sebagian besar seniman Aceh hidup dalam kondisi ekonomi yang rapuh bahkan sebelum bencana. Mereka bergantung pada panggung, undangan acara adat, pertunjukan, atau penjualan karya yang tidak rutin. Saat musibah datang, seluruh ekosistem itu runtuh. Tidak ada festival, tidak ada pembacaan puisi, tidak ada pembeli lukisan. Yang tersisa hanya pertanyaan sederhana: bagaimana makan besok?
Ironisnya, di saat paling gelap itulah suara seniman paling dibutuhkan. Merekalah yang menulis duka dengan bahasa yang tidak gaduh, yang menyulam doa dalam syair, yang mengubah trauma menjadi ingatan agar musibah tidak dilupakan begitu saja. Namun kerja ini hampir selalu dilakukan tanpa dukungan. Seniman diminta bersabar, ikhlas, dan kuat—seolah keikhlasan bisa menggantikan beras dan obat.
Dalam situasi darurat, seniman Aceh sering berubah peran. Mereka menjadi relawan, penggalang donasi, penghibur anak-anak pengungsi, bahkan pencatat sejarah bencana secara diam-diam. Puisi dibacakan di tenda, lagu dinyanyikan tanpa panggung, lukisan dibuat dari sisa lumpur. Seni menjadi cara bertahan, bukan cara hidup.
Masalahnya bukan semata ketiadaan empati, melainkan ketiadaan kebijakan. Seniman jarang masuk dalam skema pemulihan pascabencana. Tidak ada pendataan khusus, tidak ada pemulihan alat kerja kreatif, tidak ada jaminan keberlanjutan hidup. Padahal kehilangan satu seniman berarti kehilangan satu cara Aceh mengingat dirinya sendiri.
Musibah di Aceh selalu datang seperti pengingat: alam yang terluka, manusia yang lalai, dan kebudayaan yang terancam sunyi. Jika negara dan daerah hanya membangun rumah tanpa memulihkan jiwa, maka Aceh akan selamat secara fisik namun pincang secara batin.
Seniman Aceh tidak meminta keistimewaan. Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian dari ekosistem hidup masyarakat—sebagai penjaga ingatan, perawat luka, dan penyambung suara yang tak terdengar. Sebab tanpa mereka, musibah hanya akan tercatat sebagai angka, bukan sebagai pelajaran.
Dan Aceh, yang kaya sejarah dan luka, akan kehilangan satu cara paling jujur untuk bertahan: seni yang lahir dari penderitaan, namun menolak untuk diam.











