Breaking News
OPINI  

Para Pendulang Gigi Emas di Tengah Bencana

Ilustrasi gigi emas lambang kekayaan. Foto:aliexpress

Oleh: Redaksi KenNews.id

Bencana di Tanah Gayo bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah cermin yang memantulkan watak sosial kita. Ketika longsor memutus jalan, sungai meluap, dan pasokan kebutuhan harian tersendat, publik berharap lahirnya solidaritas. Namun yang muncul justru ironi: ada yang mendulang emas di tengah bencana—bukan dari sungai, melainkan dari penderitaan sesama—lalu melekatkannya di gigi mereka, tersenyum di balik kelangkaan dan kenaikan harga buatan.

Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, lonjakan harga beras, BBM, telur, dan kebutuhan pokok lainnya tak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh terputusnya distribusi. Ada pola lama yang kembali berulang. Kepanikan warga dijadikan alat tawar, sementara nurani ditanggalkan. Dalam situasi seperti ini, pasar kehilangan etikanya, dan perdagangan berubah menjadi praktik pemerasan yang dilegalkan oleh keadaan.

Menyalahkan warga yang membeli berlebihan adalah jalan pintas paling malas untuk menghindari akar persoalan. Panic buying adalah reaksi, bukan sebab. Sebab utamanya adalah ketidakpastian dan ulah segelintir pelaku usaha yang menjadikan krisis sebagai peluang. Yang layak dikritik bukan ibu rumah tangga yang takut dapurnya kosong, melainkan mereka yang menimbun demi laba, lalu bersembunyi di balik dalih “hukum pasar”.

Pejabat pemerintah seharusnya merasa malu ketika membanggakan daya beli masyarakat yang tetap mampu membeli dengan harga berapa pun. Itu bukan prestasi. Itu tanda kelalaian. Negara hadir bukan untuk menguji seberapa kuat rakyat bertahan dalam penderitaan, melainkan untuk memastikan penderitaan itu tidak diperdagangkan.

Kita patut menaruh hormat pada warga yang rela long march berjam-jam—menembus jalur KKA ke Lhokseumawe atau memutar lewat Bireuen selama 4 hingga 7 jam—hanya demi mendapatkan sekarung beras dengan harga wajar untuk keluarganya di rumah. Di sisi lain, kita juga wajib mengutuk mereka yang berdiri di jalur penyeberangan, lalu menaikkan harga tak masuk akal, bahkan terhadap logistik bantuan kemanusiaan.

Bencana seharusnya menguatkan nilai kebersamaan, bukan merontokkannya. Ketika ada pedagang yang tega memanfaatkan kesulitan tetangganya sendiri, yang runtuh bukan hanya stabilitas harga, tetapi juga martabat sosial. Keuntungan yang lahir dari penderitaan bukan rezeki—ia adalah aib.

Opini ini bukan ajakan emosi, melainkan seruan tanggung jawab. Aparat dan pemerintah daerah harus berbuat lebih dari sekadar mengeluarkan imbauan. Pengawasan distribusi, transparansi stok, serta sanksi tegas harus diumumkan secara terbuka agar publik tahu negara benar-benar hadir. Tanpa ketegasan, spekulasi akan selalu menemukan celah.

Kepada masyarakat, ketenangan adalah kekuatan. Membeli secukupnya adalah bentuk solidaritas paling nyata.
Dan kepada para spekulan di Aceh Tengah dan Bener Meriah, pesan ini perlu ditegaskan tanpa basa-basi: bencana bukan ladang emas. Di saat orang lain berjuang bertahan hidup, memamerkan “gigi emas” hanya akan mengundang kemarahan publik—dan meninggalkan catatan sejarah yang kelam.