Oleh: Tazkir,S.Pd, M.Pd
Di tengah gemerlap kemajuan teknologi menjanjikan efisiensi dan kemudahan, kita justru sedang menghadapi krisis moral semakin mengkhawatirkan.
Krisis ini bagai gunung es tampak kecil di permukaan, namun menyimpan bahaya besar bagi masa depan bangsa. Pembangunan karakter tidak bisa ditunda-tunda lagi, krisis moral yang kita hadapi saat ini adalah ujian bagi kualitas bangsa kita.
Teknologi memang penting tetapi karakterlah menentukan kemana teknologi itu akan diarahkan.
Mari kita renungkan apa artinya memiliki generasi pintar menggunakan teknologi jika mereka tidak memiliki moral dalam menggunakannya?
Kini kita menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Di berbagai sekolah, ditengah masyarakat nilai-nilai sopan santun mulai merosot. Banyak siswa yang tidak lagi menundukkan kepala ketika lewat di depan orang tua atau guru.
Fenomena nongkrong bermain game, bolos, perundungan, tawuran antar pelajar, siswa merokok ditempat umum, bahkan media memberitakan kasus guru yang dikriminalisasi, semuanya memperlihatkan bahwa ada hilang dalam pembinaan moral generasi muda kita.
Ketika anak-anak tidak lagi memahami batasan perilaku, nilai-nilai Pancasila tidak hanya memudar, tetapi terancam kehilangan maknanya.
Kini berbagai masalah moral, etika, dan karakter muncul ke permukaan mulai dari meningkatnya kasus perundungan, lemahnya sopan santun, hingga lunturnya rasa hormat kepada guru sebagai figur panutan.
Semua ini menjadi alarm keras bagi kita bahwa pendidikan karakter perlu diperkuat kembali. Salah satu langkah yang layak dipertimbangkan adalah menghadirkan kembali mata pelajaran pada zamannya yaitu Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sebagai bagian inti dalam kurikulum sekolah dan disetiap penerimaan siswa baru ada materi disampaikan kepada siswa dan masyarakat P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), begitulah pentingnya kedua materi ini.
Selama beberapa dekade, pelajaran PMP pernah menjadi pelajaran wajib menanamkan nilai-nilai luhur bangsa, seperti gotong royong, kejujuran, rasa hormat, kedisiplinan, dan rasa cinta tanah air. Pelajaran ini bukan sekadar teori, tetapi sebuah proses pembiasaan moral yang diinternalisasi melalui contoh, diskusi, dan praktik nyata.
Namun, seiring perubahan kebijakan, PMP kemudian melebur dalam mata pelajaran lain seperti PPKn, sehingga pendekatan moral dan pembentukan karakter tidak lagi terlihat memiliki bobot khusus seperti dulu.
Menghadapi krisis moral ini diperlukan kesadaran kolektif dan tindakan nyata. Pendidikan karakter harus menjadi gerakan bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Harapan penulis pemerintah dan pemangku kebijakan pendidikan dapat mempertimbangkan langkah strategis ini. Guru, orang tua, dan masyarakat juga harus bersinergi untuk mendukung pembentukan karakter sejak usia dini.
Pendidikan moral tidak boleh lagi dipandang sebagai pelengkap, melainkan sebagai inti dari pendidikan itu sendiri. Di rumah, orang tua perlu memberikan keteladanan dan membangun komunikasi yang baik dengan anak, karena pendidikan bukan sepenuhnya tanggung jawab guru.
(penulis guru SMA Negeri 1 Bukit)



