Breaking News

Guru Tak Lagi Boleh Menegur, Sekolah Akan Jadi Apa

Oleh: Tazkir, S.Pd., M.Pd.

Sebuah pertanyaan yang menggelitik sekaligus mengkhawatirkan sedang beredar di kalangan pendidik: “Saat guru tak lagi boleh menegur, sekolah akan jadi apa?”

Sebagai seorang yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya melihat fenomena ini sebagai sebuah “krisis otoritas pedagogis.” Guru sejatinya adalah second parent di sekolah, perlahan tapi pasti sedang dilucuti kewenangannya untuk melakukan hal yang paling mendasar dalam pendidikan membimbing dan mengoreksi.

Pendidikan bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi juga tentang memanusiakan manusia. Mari kita kembalikan marwah guru sebagai pendidik yang memiliki hak dan kewajiban untuk menuntun anak-anak kita, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan wibawa, ketegasan, dan kasih sayang. Jangan biarkan rasa takut mematikan panggilan jiwa untuk mendidik. Karena jika guru berhenti menegur, maka yang akan “menegur” generasi muda nantinya adalah kerasnya kehidupan sesungguhnya.

Banyak kasus nyata di mana guru bertujuan mendidik justru berhadapan dengan laporan ke polisi, tekanan dari orang tua, dan sanksi dari institusi. Situasi ini menciptakan apa yang disebut sebagai “efek chilling” atau efek jera, di mana guru lebih memilih untuk bersikap pasif dan menghindari segala bentuk risiko.

Menegur Bukanlah Menghukum
Penting untuk ditegaskan perbedaan mendasar antara “menegur” dan “menghukum.” Menegur KBBI adalah bentuk perhatian, sebuah intervensi edukatif dilakukan untuk mengingatkan, meluruskan, dan mencegah seorang anak dari perilaku tidak sesuai dengan norma dan aturan. Sementara menghukum berfokus pada konsekuensi atas kesalahan telah dilakukan.
Sebuah teguran yang diberikan dengan cara baik, pada tempat dan waktu yang tepat adalah cerminan dari tanggung jawab profesional seorang guru. Ketika seorang siswa berbicara kasar, mencontek, ketahuan merokok, sering keluar masuk kelas, pakaian tidak seragam, memakai sandal, rambut gondrong, memakai lipstik, perhiasan mewah atau mengganggu temannya dll, merupakan tugas guru untuk menegurnya? Jika tidak, lalu bagaimana nilai-nilai disiplin, hormat, dan integritas akan tertanam?

Namun terjadi hari ini batasan antara teguran mendidik dan kekerasan justru semakin kabur di mata sebagian masyarakat. Satu teguran keras saja bisa viral di media sosial, dan dalam hitungan jam, guru berniat baik bisa berubah status menjadi terdakwa. Akibatnya, akankah guru memilih diam ? bukan karena tidak peduli, tetapi karena dilema antara tanggung jawab mendidik dan rasa takut berlebihan.
Mereka kemudian menerapkan strategi “mengajar minimalis”: masuk kelas, menyampaikan materi, dan pulang. Intervensi terhadap perilaku siswa dikurangi seminimal mungkin. Apakah ini yang diharapkan siswa dan orang tua ?

Pertanyaannya, jika guru hanya menjadi “penyampai materi” dan melepaskan perannya sebagai “pembentuk karakter,” lalu apa bedanya sekolah dengan channel YouTube?
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut, masa depan pendidikan kita menghadapi beberapa skenario suram:

  1. The Rise of Academic Barbarians, Sekolah akan dipenuhi oleh siswa-siswa yang cerdas secara kognitif tetapi miskin secara karakter. Mereka mungkin pintar dalam matematika dan sains, tetapi tidak memiliki sopan santun, empati, dan kemampuan untuk menerima kritik. Mereka berpotensi tumbuh menjadi pribadi yang arogan dan tidak siap dengan dinamika sosial di dunia nyata.
  2. Kelas yang Menjadi Rimba Bebas Aturan, Tanpa otoritas guru yang diakui, aturan kelas menjadi tidak bermakna. Yang kuat akan menindas yang lemah, dan guru hanya bisa menjadi penonton yang tidak berdaya. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan tertib, justru berubah menjadi miniatur rimba di mana hukum siapa yang paling vokal atau paling kasar yang menang.
    Guru tak lagi boleh menegur adalah pertanda awal dari degradasi karakter sebuah bangsa. Semoga kedepan siswa lebih mengedepankan karakter.

**Penulis guru SMA Negeri 1 Bukit