Breaking News

Masjid Tua Gunung Suku Rawe: Jejak Sultan yang Diasingkan, Iman yang Tak Tertaklukkan

Masjid Tua Gunung Suku Rawe, Aceh Tengah yang sedang dipugar. Foto: Mustawalad/KenNews.id

Terletak di kaki Bukit Barisan di pinggiran sebelah selatan danau Lut Tawar di Kampung Gunung Suku Rawe, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah, berdiri sebuah bangunan tua yang seolah menantang waktu—Masjid Tua Gunung Suku Rawe. Dari luar, ia tampak sederhana. Namun di balik dinding kayunya tersimpan kisah yang jauh lebih besar dari sekadar tempat ibadah: kisah pengasingan, perlawanan, dan iman yang tidak pernah tunduk.

Menurut Ismail Wahab, tokoh masyarakat Kampung Rawe, masjid ini dibangun atas perintah langsung oleh Sultan Muhammad Daud Sjah, Sultan terakhir Aceh, saat beliau melakukan perang Gerilya melawan Belanda sampai ke tanah Gayo.

Bayangkan: seorang Sultan yang tahtanya dirampas, dikejar oleh kolonial dan marsosenya, namun masih sempat membangun masjid—tempat ia menegakkan sujud di tengah perang. Itu bukan sekadar ibadah, itu adalah perlawanan spiritual.

Bangunan masjid itu berukuran sekitar 9 x 9 meter, berdinding kayu tua yang masih berdiri walau usianya lebih dari satu abad. Di tengahnya berdiri empat tiang bulat berdiameter sekitar 30 sentimeter—penopang utama yang menjadi saksi diam setiap doa yang pernah terucap di situ. Uniknya, di antara tiang-tiang itu ada satu tiang gantung yang bagian atasnya menembus atap. Sebagian orang tua di kampung percaya, tiang itu melambangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara bumi Gayo dan langit Aceh.

Di bawah tiang dan papan kaso mihrabnya, terdapat ukiran Kerawang Gayo —simbol kemuliaan, keteguhan, dan keindahan jiwa masyarakat pegunungan. Ukiran itu seperti nadi budaya yang berdenyut di antara papan-papan tua, seolah ingin berkata: “Kami masih ada, kami masih beriman.”

Kini, masjid tua itu sedang dipugar. Pemerintah kembali menegakkan marwah sejarah yang hampir terkubur. Namun, lebih dari sekadar proyek renovasi, pemugaran ini adalah upaya membangunkan kesadaran kolektif: bahwa Gayo tidak hanya punya kopi dan alam indah, tapi juga jejak peradaban Islam yang pernah ditorehkan seorang Sultan di masa getir perjuangan.

Masjid Tua Gunung Suku Rawe bukan sekadar situs bersejarah. Ia adalah bukti bahwa kekalahan tidak selalu berarti kejatuhan. Sultan Daud Sjah mungkin ditundukkan oleh peluru dan politik, tetapi di sini, di tanah Rawe, ia menegakkan simbol kemenangan iman.

Kini, tugas generasi Gayo adalah satu: melestarikan masjid ini, bukan hanya sebagai bangunan tua, tetapi sebagai pusat napas sejarah dan wisata Islam. Karena ketika sebuah bangsa melupakan tempat sujud leluhurnya, di situlah sebenarnya peradaban mulai runtuh—bukan karena perang, tapi karena lupa.