Di dataran tinggi Gayo, api perapian pernah menjadi saksi lahirnya sebuah ungkapan yang hingga kini dipercaya sebagai kebenaran sejarah: Asal Linge Awal Serule. Kisahnya sederhana. Seorang anak, pada malam yang dingin, bertanya kepada ayahnya tentang asal-usul dirinya. Sang ayah, dengan bahasa Gayo yang halus dan penuh tamsil, menjawab: “Asal Linge Awal Serule.” Sebuah jawaban simbolik, bukan laporan arkeologis.
Namun masyarakat sering kali memilih jalan pintas. Alih-alih membaca ungkapan itu sebagai metafora, ia diulang, diwariskan, dan dihidupi seolah sebagai fakta. Terjadilah proses mythologization of origin: sebuah kiasan yang berubah menjadi mitos kolektif, lalu dipakai untuk menopang identitas kultural. Apa yang semula hanyalah percakapan intim di tepi perapian, lambat laun menjelma “sejarah resmi” yang sulit digugat.
Di titik inilah kita mesti kritis. Claude Lévi-Strauss, seorang antropolog dan etnolog Prancis, dan disebut sebagai “bapak antropologi modern”, pernah menegaskan bahwa mitos bukanlah penjelasan ilmiah, melainkan struktur berpikir yang mengatur pengalaman manusia. Mitos menyatukan komunitas, memberi arah, dan menata dunia dalam bahasa simbol. Tetapi jika mitos diperlakukan sebagai data sejarah, ia berhenti menjadi bahasa kedua; ia berubah menjadi jebakan ideologis.
Dan, Paul Ricoeur, salah satu tokoh alternatif dalam tradisi hermeneutika yang lahir pada tanggal 27 Februari 1913, di Valence, Lyons Prancis Selatan. menambahkan, simbol selalu “lebih mengatakan daripada yang dikatakan.” Artinya, Asal Linge Awal Serule seharusnya dibaca sebagai simbol yang kaya makna—tentang identitas, tentang asal, tentang keintiman manusia dengan tanahnya. Sayangnya, banyak orang berhenti pada permukaan: memperlakukan simbol seolah dokumen literal.
Padahal, ilmu pengetahuan memberi kita suara lain yang tak bisa diabaikan. Tahun 2012, enam kerangka manusia prasejarah ditemukan di Loyang Mendale dan Ujung Karang, Aceh Tengah. Satu berusia 7400 tahun dari zaman Neolithikum; lima lainnya berusia antara 5000 hingga 2000 tahun SM. Analisis karbon memperkuat validitasnya. Fakta ini membuktikan bahwa manusia telah menghuni dataran tinggi Gayo jauh sebelum narasi asal Linge awal Serule lahir.
Lalu pertanyaannya: mengapa sebagian dari kita masih berkeras menggantungkan identitas hanya pada mitos, seolah-olah sains adalah ancaman? Di sinilah bahaya laten muncul. Mitos yang dibekukan sebagai sejarah dapat dipakai untuk membatasi, menutup diri, bahkan memanipulasi kesadaran kolektif. Ia bisa diperalat oleh elite budaya atau politik untuk mengendalikan masyarakat. Ketika simbol dipaksa menjadi “fakta,” imajinasi berubah jadi dogma.
Inilah paradoksnya: tanpa mitos, identitas menjadi kering; tetapi tanpa ilmu, pengetahuan menjadi rapuh. Asal Linge Awal Serule harus dibaca bukan sebagai garis akhir, melainkan pintu masuk. Ia memberi roh, tetapi tubuhnya harus kita temukan lewat penelitian, arkeologi, dan kajian sejarah. Tanpa roh, tubuh hanyalah bangkai; tanpa tubuh, roh hanyalah bayangan.
Jika kita terus menutup mata terhadap temuan ilmiah, kita hanya akan hidup dalam nostalgia yang dipelihara oleh kata-kata. Lebih berbahaya lagi, kita menjadi masyarakat yang puas dengan dongeng, tetapi tuli terhadap bukti.
Maka, provokasi yang layak diajukan hari ini adalah: sampai kapan orang Gayo rela bersembunyi di balik tamsil perapian, sementara Loyang Mendale sudah berteriak dengan suara tulang-belulang yang berusia ribuan tahun?