TAKENGON | KenNews.id – Sabtu, 27 September 2025, Komunitas Bandit Warung Kopi kembali mengadakan parade bedah buku bertempat di Rolly Café Angkup, Silih Nara, Aceh Tengah. Kali ini, karya yang dibedah adalah kumpulan cerita berjudul “Kebun Jagal” karangan Putra Hidayatullah.
Buku setebal 138 halaman itu menghadirkan potret getir sejarah panjang Aceh—mulai dari tragedi politik 1965 hingga konflik bersenjata antara GAM dan Republik Indonesia. Salah satu bagian yang paling mencengangkan, pada halaman 109, menyingkap peristiwa kelam di Aceh Tengah tahun 1965 melalui kisah “Aku Melihat Ibu”—tentang pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh terlibat PKI.
Parade bedah buku ini menghadirkan pembicara Angga Prasetya dan Vera Hastuti, dilengkapi dengan pembacaan puisi Garepo oleh Zuliana Ibrahim, serta dipandu moderator Juli Yanti Sari. Para peserta sebagian besar berasal dari kalangan siswa SMA, mahasiswa dan dosen, menandakan gairah literasi generasi muda Aceh Tengah masih menyala.
Menurut Founder Komunitas Bandit Warung Kopi, Nandar Winar Sagita, yang juga Guru Sejarah di SMA Negeri 6 Takengon, kegiatan ini adalah yang ketiga mereka gelar. Sebelumnya, komunitas ini pernah membedah buku “Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu” karya Sasti Gotama di Aceh Timur. Khusus untuk Kebun Jagal, ini adalah bedah buku kedua setelah sebelumnya berlangsung di Banda Aceh bersama penulisnya langsung.
Acara ini bekerjasama dengan Kementerian Kebudayaan. Sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Mahendra, Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan, bahwa program Penguatan Komunitas Sastra ini adalah upaya untuk menjembatani antara karya sastra dengan pembaca. Karena selama ini, diseminasi buku sastra masih belum optimal. Komunitas sastra berperan sebagai ujung tombak yang akan menyebarluaskan karya sastra, dengan cara mendiskusikannya dan mengalihwahanakannya.
Komunitas Bandit Warung Kopi sendiri dikenal dengan mottonya yang unik: “Nakal Boleh, Jahat Jangan.”
Motto itu seperti penegasan bahwa dunia literasi bukanlah ruang kaku, melainkan arena bermain ide, mengulik luka sejarah, dan memancing perlawanan intelektual.