BENER MERIAH | KenNews. id – Musim panen kopi Gayo tahun 2025–2026 di Kabupaten Bener Meriah diwarnai kabar buruk. Hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) kembali menyerbu perkebunan kopi rakyat, menghantam buah kopi yang seharusnya sudah siap dipetik.
Peneliti kopi dari Lembaga Enveritas dan Yamada Spire, asal Kecamatan Bandar, Kasman Dedi, , Rabu, 24 September 2029 kepada KenNews.id memperingatkan bahwa serangan PBKo tahun ini bisa menjadi bencana serius bagi ekonomi masyarakat.
“Sebagian besar buah kopi arabika Gayo kembali diserang PBKo. Buah yang seharusnya merah matang justru berubah kuning, jatuh, dan tak bisa dijual. Petani rugi besar,” ungkap Kasman.
Kondisi ini makin parah karena harga jual kopi cherry sudah dipatok dengan metode baru: buah yang tenggelam dihargai Rp4.000–Rp5.000 per kilogram, sementara yang mengapung dihargai lebih rendah. “Dengan serangan hama seperti ini, jumlah buah layak jual semakin sedikit. Petani makin tercekik,” tambahnya.
Kasman mengungkapkan fakta mengejutkan. Jika dulu PBKo hanya menyerang tanaman pada ketinggian 800 mdpl, kini hama ini sudah merambah hingga 1.600 mdpl akibat perubahan iklim global.
“Ini penyakit serius. Kalau tidak segera ditangani, masyarakat bisa gagal panen. Apa yang dulu aman, kini sudah tidak ada lagi jaminan,” tegasnya.
PBKo, atau Hypothenemus hampei, dikenal sebagai hama paling berbahaya di perkebunan kopi dunia. Serangga betina hidup lebih lama, mampu terbang, dan menghancurkan satu hamparan kebun hanya dalam hitungan minggu. Rasio betina dan jantan bahkan bisa mencapai 500:1. Artinya, dalam satu liang kecil, sudah ada bom biologis yang siap menyebar lebih cepat.
Kasman menyebut fenomena ini sebagai “pandemi PBKo” dan meminta pemerintah daerah tidak menutup mata.
“Petani sudah berjuang keras menjaga kualitas kopi Gayo, tapi tanpa dukungan kebijakan dan penanggulangan hama yang terukur, semuanya sia-sia. Pemerintah harus hadir dengan solusi nyata, bukan hanya janji di forum-forum,” katanya lantang.
Serangan PBKo kali ini bukan hanya soal gagal panen, tapi ancaman terhadap brand Kopi Arabika Gayo yang sudah mendunia. Jika kualitas kopi anjlok, harga turun, dan petani terpuruk, maka reputasi kopi Gayo sebagai salah satu kopi terbaik dunia ikut hancur.
Kini publik menunggu: apakah pemerintah daerah akan bergerak cepat menyelamatkan kopi Gayo dari cengkeraman PBKo, ataukah hanya membiarkan sejarah mencatat musim panen 2025–2026 sebagai masa kelam petani kopi di Tanah Gayo?